"Bapak bagaimanapun dibesarkan oleh Pak Harto, sudah seperti bapak sendiri, jadi kalau minta Pak Harto mundur, tentu berat sekali. Tetapi melalui pertimbangan matang, agar keberlangsungan bangsa ke depan, mungkin itu yang terbaik," kata Azisoko.
Dalam mengambil keputusan, Harmoko tak pernah meminta pendapat keluarga. Dia yang dikenal sebagai sosok agamis, lebih memilih berserah diri lewat salat istikharah.
Kata Azisoko, sebagai anak, dalam kondisi kacau seperti 1998, keputusan sang ayah adalah keputusan terbaik. Kendatipun banyak pihak memicingkan mata seolah menganggap pengkhianat.
"Yang ditakutkan dia (ayahnya) adalah eskalasi besar seperti kejadian di Filipina, banyak korban jatuh. Dia tak mau. Di satu sisi, dia sangat sayang dengan Pak Harto. Dalam hidupnya, ada dua idolanya, yakni Bung Karno dan Pak Harto."
Warisan Mengejutkan di Ruang Kerja Bung Akung
Sementara itu, sang editor buku, Nanang Junaedi mengatakan 'Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi' menceritakan kisah lengkap Harmoko sejak lahir sampai berkiprah mengabdikan diri membangun negeri.
Di buku tersebut, turut pula diceritakan bagaimana dia membangun Poskota, surat kabar legendaris yang turut membesarkan namanya di Indonesia.
"Buku ini sangat lengkap menceritakan siapa Pak Harmoko, dari sejak lahir sampai beliau wafat, sangat panjang. Salah satunya berkaitan dengan judul buku ini, Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi," kata dia.
Sebab, semua detik-detik sejarah diceritakan sangat lengkap, termasuk pergolakan batin saat meminta Soeharto mundur. "Walaupun ada yang menyatakan Harmoko pengkhianat, tapi di satu sisi ada yang bilang dia penyelamat. Semua lengkap tertulis di buku ini," katanya.
Buku Bersama Rakyat ke Gerbang Reformasi yang baru saja dirilis merupakan catatan biografis yang ditulis langsung oleh almarhum Harmoko dari tahun 1999 sampai dengan 2004.
Kata Azisoko, buku ini sebenarnya hampir batal terbit. Alasannya karena Bung Akung --sapaan sayang keluarga padanya-- tak pernah cerita kepada istri, anak, maupun keluarga tentang legacy yang diwariskan dalam bentuk autobiografi.
Hingga akhirnya buku tersebut ditemukan saat keluarga merapikan ruangan kerja almarhum sebulan setelah beliau wafat.
“Saat merapikan ruangan kerja bapak itulah, kami menemukan hardcopy autobiografi ini. Sebuah buku yang sudah terjilid, setebal 650-an halaman. Selain ibu, kami anak-anaknya bergantian membaca buku ini. Kesimpulan kami rupanya sama, buku ini cukup komprehensif berkisah tentang Bapak, namun tidak atau belum diterbitkan. Unpublished," kata Azisoko.