Oleh Ilham, wartawan Poskota
JAKARTA banjir. Perkataan ini biasa bagi warga Ibu Kota. Menjadi tidak biasa jika Jakarta tidak terjadi banjir. Hujan yang mengguyur jakarta beberapa hari belakangan membuat sejumlah jalanan dan perumahan warga terendam banjir.
Warga yang tinggal di pinggir Kali Ciliwung contohnya, sudah terbiasa bagaimana menghadapi rumahnya di datangi air. Mereka terlihat tidak stres, bahkan ogah pindah dari lokasi tersebut meski ketinggian air mencapai dua meter.
Banjir jakarta kerap dijadikan politik kepentingan oposisi beradu dengan penguasa. Mereka seolah-olah yang paling mengerti mengendalikan banjir. Faktanya tak satupun pemimpin Jakarta mampu mengatasinya, termasuk Presiden.
Politik banjir semakin kencang ketika memasuki tahun politik Pilkada dan Pilpres. Mereka lantang bersuara memilih sosok yang diidolakan meski harus menutupi kekurangannya. Ironisnya, mereka ini kerap menyalahkan pemimpin terdahulu ketika menjabat.
Jakarta tidak butuh pemimpin yang banyak bacot apalagi dipenuhi ucapan selamat berupa ratusan karangan bunga. Jika yakin program sodetan Ciliwung yang tertunda bisa menangani banjir segera eksekusi jangan lagi dibawa ke ranah politik.
Sodetan Ciliwung menjadi sorotan setelah Presiden Joko Widodo bersama Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono muncul dan dipercaya akan bisa mengendalikan banjir jakarta.
Proyek ini memiliki terowongan sepanjang 1,26 kilometer dan akan mengalirkan sebagian debit Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT). KBT merupakan kanal pencegahan banjir seluas 20.125 hektar dibangun 2003 untuk menampung aliran dari Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung.
Pada 2011, limpasan air dari aliran Sungai Ciliwung yang kerap memicu banjir membuat pemerintah berencana menyambungkan sungai ini dengan KBT. Proyek sodetan ini juga setali dengan normalisasi Sungai Ciliwung sepanjang 33 kilometer serta pembangunan bendungan Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor.
Dalam situasi ini, pembangunan sodetan dan normalisasi Sungai Ciliwung yang masih tersisa 17 kilometer lagi berperan penting untuk mengurangi sisa limpasan. Itu belum termasuk sistem pengendalian banjir dari 13 sungai di Jakarta.
Perlu diketahui sodetan Ciliwung bukan satu-satunya sistem pengendalian banjir di Jakarta, namun sering kali dianggap sebagai dewa karena sorotan politisnya yang kuat. Itu artinya, sodetan tersebut belum menjadi jaminan kawasan sekitarnya bebas banjir.
Jika skenario sodetan Ciliwung berhasil, akan menjadi barometer pengendalian banjir di Indonesia. Jika tidak, kita tidak punya contoh konkret bagaimana sistem pengendali banjir bekerja. Jadi semua teruji pada 2024 ketika normalisasi politik Ciliwung rampung. ***