LEBAK, POSKOTA.CO.ID - Bangunan water toren atau menara air yang berada di Kampung Pasir Tariti, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, merupakan Bangunan Cagar Budaya (BCB) peninggalan kolonial Belanda yang memiliki nilai sejarah.
Bangunan yang menjulang setinggi 9 meter tersebut berfungsi sebagai penampungan air bersih untuk kebutuhan pemenuhan air bersih bagi masyarakat Rangkasbitung, Lebak pada 1931 hingga sekitar tahun 1970 silam.
Namun, menurut sejarah sejak tahun 1970-an bangunan tersebut sudah tidak berfungsi lagi sebagai penampungan dan pasokan air bersih kepada permukiman.
Water toren yang berdiri di atas lahan seluas 200 meter, tepatnya di dekat makam Pahlawan tersebut merupakan salah satu saksi sejarah Rangkasbitung.
Water toren alias menara air itu dibangun pada tahun 1931 pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dan itu merupakan bangunan paling penting di Rangkasbitung.
Terutama bagi pemerintahan dan pendatang Belanda mengandalkan bangunan ini untuk mencukupi kebutuhan air bersih.
Bangunan water toren ini memiliki keunikan dari segi karakter dan bentuk bangunannya yang tidak dapat disamai oleh bangunan masa kini.
Sebab bangunan yang berbentuk silindris dan bagian atasnya berbentuk oktagon persegi delapan.
Menurut catatan sejarah, bangunan menara air tersebut dibangun dan diresmikan pada tahun 1931 silam.
Karena pada atas pintu masuk bangunan terlihat jelas angka tahun 1931 yang menunjukan tahun pembangunan atau peresmian water toren.
Pemerintahan hindia Belanda pada zaman dulu sengaja membangun water toren sebagai sarana penampungan air, untuk sistem pendistribusian kebutuhan air bersih bagi masyarakat zaman dulu.
Sumber air yang ditampung pada water toren tersebut diambil dari wilayah Kabupaten Pandeglang, tepatnya dari sumber mata air Gunung Karang, Pandeglang.
Kapasitas penampungan air bersih pada water toren tersebut mampu menampung air sebanyak 4 liter per detik.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, water toren dikelola oleh perusahaan air minum yang pada saat ini namanya Waterleideng Nedrijf.
Melalui pengelolaan itu kebutuhan air bersih bagi masyarakat terakomodir dengan optimal.
Namun, sempat diambil alih oleh Jepang dan pengelolanya berubah nama menjadi Suido Syo.
Setelah beberapa tahun Jepang mengelola sarana water toren itu, pengelolaan diambil alih oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Setelah diambil dari Jepang, pengelolaan air water toren tersebut berubah lagi namanya dari Suido Syo menjadi Air Minum Rangkasbitung, bukan lagi di water toren.
Sejak itulah menara air peninggalan Belanda tidak difungsikan lagi, dengan kisaran sejak tahun 1970-an.
Menurut Kepala Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Ubaidillah Muchtar bahwa water toren ini fungsinya sebagai tempat untuk menampung dan menyalurkan air bersih kepada masyarakat di Kota Rangkasbitung untuk kebutuhan sehari-hari.
"Rangkasbitung sudah menjadi Ibu Kota Kabupaten Lebak ketika Multatuli ada sejak 1856 silam. Nah untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat, maka pemerintahan Hindia Belanda zaman dulu membangun water toren itu sebagai sarana penampungan dan pasokan air bersih," ungkapnya, Minggu (5/2/2023).
Dijelaskannya, water toren di Rangkasbitung tersebut merupakan tempat penampung dan penyalur air bersih. Sementara, water toren di Warung Gunung, Lebak salah bak pengontrol ketika terjadi gangguan kelancaran pasokan air.
"Di Lebak ada dua bangunan water toren yang dibangun secara bersamaan pada zaman Belanda dulu. Yaitu di Warung Gunung dan Rangkasbitung, keduanya punya fungsi yang berbeda, satu untuk penampungan dan penyaluran dan satu lagi untuk pengontrolan," bebernya.
Menurutnya, sumber air yang ditampung pada water toren tersebut berasal dari Gunung Karang di Kabupaten Pandeglang. Dari sumber itu lah, kebutuhan pasokan air bersih terpenuhi secara maksimal.
"Melalui sarana dan sistem pengaturan pasokan air bersih yang dibangun pemerintahan Hindia Belanda itu, kebutuhan air sehari-hari masyarakat Rangkasbitung terpenuhi," ujarnya.