“Sanksi hukum yang tegas bagi penebar politik uang, perlu diterapkan.
Sanksi bisa mulai dari diskualifikasi, denda, hingga pidana bagi mereka yang benar – benar terbukti menyuap warga untuk memilih dirinya..” - Harmoko -
Ada sejumlah hal yang sepertinya tiada tuntas dikupas menjelang pemilu 2024 ini, di antaranya masalah politik identitas dan politik uang (money politics). Keduanya menjadi momok bagi proses demokrasi negeri kita ini. Dianggap akan mencederai kemurnian pesta demokrasi yang akan digelar awal tahun depan.
Politik identitas mulai ramai dibahas sejak lima tahun terakhir ini, setidaknya distigmakan pasca Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu. Kekhawatiran mencuat, politik identitas akan digunakan oleh para elite, dalam meraih suara rakyat.
Tak heran, jika semua pihak mulai dari pejabat negara hingga organisasi massa mewanti – wanti agar para elite yang hendak bertarung dalam pemilu, siapa pun dia, apakah capres hingga caleg, tidak menggunakan politik identitas.
Sementara, jika bicara politik uang bukan hal yang baru dan tabu dalam sistem demokrasi kita. Sejak awal pemilihan secara langsung, praktik politik uang sudah terjadi, hingga kini bukan rahasia umum lagi.
Setiap gelaran pemilu, pemilukada, politik uang selalu ada, baik secara sembunyi – sembunyi atau terang – terangan. Bahkan, politik uang sudah menjadi alat transaksi dalam jual beli suara.
Praktik politik uang bukan dugaan, tetapi nyata adanya, juga pengakuan dari sejumlah elite yang pernah mengikuti pilpres, pileg ataupun pilkada.
Tak berlebihan sekiranya mencuat anekdot dalam masyarakat, “Nomor piro, wani piro” – nomor berapa, berani (bayar) berapa.
Maknanya, politik di Indonesia tak bisa lepas dari uang, padahal politik dan uang adalah dua hal yang berbeda, tetapi tidak bisa dipisahkan begitu saja menyongsong hajatan demokrasi.
Bagi elite politik, sebagai kandidat membutuhkan peluru untuk bertempur. Untuk berpolitik membutuhkan uang ( modal), dengan uang orang pun dapat berpolitik, meski modal tak selamanya harus berbentuk uang. Namun, dengan uang seolah dapat memainkan segalanya.
Dalam sistem pemilu seperti apapun, terbuka atau tertutup, politik uang kerap menyertainya. Tentu, kita akan memilih sistem yang dapat menutup sekecil mungkin peluang praktik politik uang.
Kalau keduanya, sebut saja sama – sama memiliki risiko, tetapi hendaknya memilih risiko paling minim. Itu yang hendaknya dirumuskan para wakil rakyat dan pemerintah serta pihak terkait, demi memajukan dan memurnikan demokrasi kita yang berlandaskan kepada falsafah bangsa, Pancasila.