KOMISI Pemulihan Umum (KPU) mewacanakan pada Pemilu 2024 mendatang akan menggunakan sistem proporsional tertutup.
Dalam sistem itu, pemilih hanya dapat memilih partai politik secara keseluruhan. Bukan memilih kandidat yang dianggap bakal mewakili suara rakyat di legislatif.
Dalam sistem proporsional tertutup juga para kandidat ditentukan oleh para petinggi partai.
Belum tentu rakyat pemilih mengenal siapa calon kandidat yang akan mereka coblos sebagai wakilnya nanti.
Sontak, wacana tersebut membuat beberapa parpol meradang . Terhitung, ada delapan partai politik yang tegas menolak sistem Pemilu Proporsional Tertutup.
Delapan parpol tersebut meliputi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Banyak latar belakang penolakan sistem yang dianggap sudah tak sesuai dengan perkembangan zaman ini.
Di era digital, setiap politisi bisa dengan mudah mengenalkan siapa dirinya kepada masyarakat luas melalui media sosial.
Dan netizen pun akan mudah memilih siapa tokoh atau politisi yang benar-benar memiliki kemampuan dan memihak pada kepentingan rakyat.
Ada yang menilai, sistem proporsional tertutup hanya menciptakan calon kandidat karbitan.
Bahkan kerap dituding hanya menguntungkan mereka yang dekat dengan ketua umum partai.
Sebab dalam sistem tertutup, masing-masing partai politik telah menentukan terlebih dahulu siapa yang akan memperoleh kursi di pemilu nanti.
Calon yang menempati urutan tertinggi dalam daftar ini berpeluang besar mendapat kursi di parlemen.
Sementara calon yang diposisikan sangat rendah pada daftar tertutup tidak akan mendapatkan kursi.
Kader yang tak punya banyak uang untuk 'menyetor' ke parpol jangan berharap bisa nyalon.
Wajar saja dalam sistem proporsional tertutup ketua umum sangat absolut dalam menentukan siapa kader yang dekat dengannya bisa dengan mudah mendapat kursi empuk di DPR/MPR.
Tentu saja berbeda dengan sistem proporsional terbuka. Kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik.
Meski peluang 'setoran' ke parpol selalu ada, namun biasanya dipilih kader yang memang memiliki banyak massa di akar rumput.
Jadi, dalam sistem proporsional terbuka, memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menunjuk wakil yang benar-benar mau memperjuangkan kepentingan bersama.
Dalam sistem tertutup, belum tentu rakyat mengenal siapa kandidatnya. Mereka hanya memilih partai politik.
Padahal sudah jelas ada dogma yang menyebut bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Wakil yang duduk di kursi parlemen benar-benar pilihan rakyat.
Ketika aspirasi tak diindahkan oleh kandidat terpilih, maka dia mengkhianati Tuhannya.