Jelang hajatan pilpres, pilkada seperti sekarang ini, istilah turun gunung kerap mencuat. Dengan tidak bermaksud memaknai tokoh yang turun gunung, setidaknya turun gunung dilakukan karena adanya beberapa pertimbangan seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi pagi” di media ini.
Pertama, ada keraguan program kerja berjalan kurang optimal dan maksimal.
Kedua, sebagai upaya penyelamatan secara menyeluruh.
Ketiga, ada target khusus yang hendak dicapai.
Keempat, untuk memberi motivasi dan kepercayaan diri kepada mereka yang hendak dibantu. Dalam konteks kekinian, tokoh yang dicapreskan.
Kelima, menyadari beratnya persaingan yang akan dihadapi.
Meski "turun" itu gerakan dari atas ke bawah. Bergerak ke arah bawah, ke tempat yang lebih rendah dari tempat semula. Lebih ringan, ketimbang naik gunung, tidak berarti tanpa tantangan.
Boleh jadi king maker yang lain, lawan politiknya, bukan hanya turun gunung, tetapi masuk ke basis akar rumput.
Setiap aktivitas tentu terdapat tantangan dan kesulitan. Begitupun ketika pendaki turun gunung. Jika kurang mampu menata keseimbangan diri,
malah bisa tergelincir. Jatuhnya lebih sakit, lebih berbahaya.
Itulah perlunya kehati - hatian, bagaimana mengendalikan diri, kapan mengerem diri, boleh jadi, rem darurat.
Satu pesan yang hendak disampaikan, sesama king maker yang hendak “Turun gunung” wajib bermain cantik dan sportif. Tak boleh curang dan main serang. Kami meyakini,dengan ketokohannya, pengalamannya, ilmunya lebih linuwih, tentu lebih arif dan bijak. Akan meneladani kepada para muridnya, yuniornya, untuk lebih beretika dan bermoral dalam menjalankan strategi politiknya.
Semoga. (Azisoko).