Demokrasi adalah kompetisi, tetapi bagaimana membangun kompetisi yang sehat dan bertanggung jawab memasuki perhelatan akbar pemilu serentak.
Rakyat sungguh-sungguh memerlukan teladan para elite untuk melakukan kompetisi yang sehat, kampanye bermutu, mudah dipahami,. Jangan jadikan rakyat objek janji kosong dan diadu dengan informasi yang hoax, pembodohan, pengelabuan yang merusak negeri dan generasi kita di masa datang.
Jangan jadikan adu program menjadi adu domba, adu kekuatan, adu pencitraan, ada keberuntungan, dan menang-menangan yang mengarah kepada kekacauan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Jangan pula adu menyerap aspirasi, membangun simpati berubah menjadi saling mencaci, memaki, membenci dan mencurigai dan mengkhianati. Janganlah ajang kompetisi berakhir dengan saling membenci.
Kemeriahan kompetisi, dinamika politik yang terjadi harus tetap mengedepankan aturan main, etika dan moralitas. Bagaikan gelora pertandingan sepak bola (Piala Dunia) yang seakan-akan mampu memecah arena, tidak pernah mengeroyok satu wasit yang bicara dengan peluitnya. Tidak menyerang pemain lawan atau pendukungnya yang sama-sama berada berada di tribun penonton. Itulah sebabnya, rakyat sebagai pemilih, jangan terjebak hasutan dan provokasi, Jangan karena beda “jagoan” terjadi perselisihan, kemudian merusak persaudaraan (paseduluran).
Ingat kita menganut demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya, agama dan sopan santun. Kita menolak demokrasi yang menghalalkan segala cara. Demokrasi yang memancing konflik dan permusuhan.
Kompetisi berlangsung sehat, jika para kompetitor (para elite) mematuhi aturan main, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Pancasila, tak terkecuali mengedepankan etika dan moral.
Sejak dulu hingga sekarang, rakyat sangat mendambakan suasana aman dan tertib. Guyub rukun dengan sesama tanpa pembeda. Bukankah filosofi kita “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah”. (Azisoko)