ADVERTISEMENT

Kopi Pagi Harmoko: Perubahan vs Kemampuan

Senin, 5 Desember 2022 07:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Kadang banyak orang teriak perubahan. Ingin mengubah orang - orang di sekitarnya, tapi dirinya sendiri tidak mampu berubah karena terbelenggu oleh rutinitas dan kemapanan..,” -Harmoko-

PERUBAHAN adalah kebutuhan dan keniscayaan. Sering dikatakan, tanpa perubahan, tiada kemajuan. Kita dapat meyakini, semua orang ingin berubah, rakyat Indonesia ingin berubah menuju lebih baik lagi. Perubahan milik semua. Tak heran, jika  isu perubahan acap dijadikan sebuah slogan dalam kontestasi politik. Yang menjadi soal, apakah perubahan yang dilakukan itu menuju kebaikan atau menyisakan keburukan.

Pemilu legislatif, pemilihan presiden yang digelar serentak tahun 2024, disusul kemudian pilkada, tidak lain untuk melakukan perubahan kekuasaan eksekutif dan legislatif, dari tingkat pusat hingga daerah.

Pemilu untuk memproduksi kekuasaan. Outputnya akan menjadi baik, jika inputnya baik (di dalamnya terdapat kualitas SDM yang mumpuni untuk memimpin negeri kita ke depan), prosesnya juga baik, tanpa adanya kecurangan dan campur tangan untuk melanggengkan kekuasaan sekelompok orang demi kepentingan bisnis dan politiknya.

Selama input dan prosesnya belum sebagaimana diharapkan, perubahan yang terjadi hanya pada tataran pergantian kekuasaan, orang – orang yang memegang tampuk kekuasaan. Boleh jadi, beda rupa, tetapi bajunya sama.

Padahal perubahan yang kita harapkan, tentu, tak sebatas tampil beda menjadi lain dari semula, tetapi berganti arah, haluan dan kebijakan guna lebih memperbaiki keadaan.

Ini bukan berarti yang lalu tidaklah baik, tetapi yang sudah baik menjadi lebih baik lagi. Bukankah setiap era harus lebih baik dari sebelumnya.

Era baru dengan norma baru dan nilai - nilai baru perlu disiapkan untuk dijadikan dasar pijakan menyongsong pemerintahan baru mendatang. Pemerintahan yang tak hanya legitimate, juga aspiratif dan partisipatif. Pemerintahan yang mampu merangkul semua partisan tanpa pembedaan perlakuan. Meski keberagaman adalah kenyataan, tetapi bukan berarti membeda-bedakan keberagaman yang berujung kepada pengkotak-kotakan dan keterbelahan sosial. Tetapi bagaimana menyatukan kehidupan bangsa di atas keberagaman. Ber-Bhinneka Tunggal Ika, bukan sebatas slogan, tetapi tercermin dalam kehidupan yang semakin hari bertambah baik dan nyata.

Kita masih ingat, era baru dengan norma baru terbentuk setelah Pandemi Covid-19, yang ditandai dengan penerapan protokol kesehatan dalam kehidupan sehari – hari. Minimal memakai masker, menjaga jarak dan terbiasa mencuci tangan dengan sabun sudah menjadi habit.

Tentu kita tidak berharap era baru dengan norma baru, terbentuk setelah terdapat bencana, trauma adanya badai ekonomi dan gempa politik.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT