Membangkitkan Sikap Melu Handarbeni

Kamis, 24 November 2022 06:30 WIB

Share

“Membangkitkan partisipasi masyarakat bukan dengan pemaksaan, tetapi melalui kelembutan dan sikap toleran. Bukan pula dengan memberikan iming – iming dan janji belaka, tetapi melalui keteladanan dan aksi nyata.” – Harmoko-
 
Pembangunan infrastruktur itu penting, tetapi pembangunan manusia tidak kalah pentingnya. Pertumbuhan ekonomi juga sangat penting, tetapi tidak segalanya, jika hasil pertumbuhan tidak menghasilkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Apalagi jika hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berkemampuan, memiliki relasi sosial, ekonomi dan politik, sementara masyarakat menengah ke bawah yang jauh dari kekuasaan, hanya bisa menyaksikan dengan menerima limpahan.

Jika soal pemerataan masih menjadi masalah yang belum terselesaikan, patut dipertanyakan, adakah yang salah dalam sistem demokrasi kita? Jawabnya tidak perlu diperdebatkan, tetapi rakyat bisa merasakan.

 

Semakin banyak pihak yang terlibat dan merasa bahagia dengan apa yang sedang dibangun baik oleh pemerintah maupun  swasta, menjadi satu indikasi keberhasilan demokrasi.
Sebaliknya, semakin sedikit pihak yang terlibat dan merasa memiliki, pertanda demokrasi masih jauh dari harapan. Hasilnya dapat diduga, pemerataan hasil pembangunan belum sepenuhnya dirasakan semua lapisan.

Kita sering menyaksikan masyarakat sekitar hanya bisa menyaksikan proses pembangunan infrastruktur, industri yang terjadi di wilayahnya. Kadang tidak tahu apa yang sedang dibangun. Bukannya tidak mau tahu, tetapi tidak dilibatkan secara langsung. Haruskah sebuah proyek pembangunan menjauhkan sumber daya lokal, bukankah memanfaatkan potensi lokal akan lebih berhasil guna. Lebih – lebih jika hasil proyek pembangunan masih meminggirkan masyarakat setempat karena tidak bisa menikmati hasilnya.

 

Bagaimana membangun partisipasi, jika publik tidak dilibatkan dalam prosesnya. Padahal pembangunan dalam bidang apapun memerlukan partisipasi aktif masyarakat, tanpa partisipasi pembangunan akan pincang, boleh jadi menyimpang dari target dan sasaran. Ironi, jika menimbulkan kerusakan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya sebagai kearifan lokal yang hendaknya tetap dirawat dan dijaga kelestariannya.
Jika sudah demikian masyarakat menjadi apatis. Begitu juga dalam membangun demokrasi negeri kita yang berdasarkan Pancasila.

Salah satu parameter kesuksesan sebuah pesta demokrasi, apakah pilpres, pileg ataupun pilkada dilihat dari sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak suaranya. Semakin tinggi tingkat penggunaan hak pilih, kian antusias rakyat menyongsong perubahan. 

Sebaliknya, semakin rendah  rakyat menggunakan hak pilihnya, gambaran rakyat apatis menyongsong perubahan, bisa jadi karena kandidat yang disodorkan tak sesuai harapan, karena keraguan akan adanya perubahan.

Disinilah perlunya membangun partisipasi, sejak awal proses demokrasi berjalan, sejak awal kebijakan pembangunan digulirkan.
Hanya saja membangkitkan partisipasi masyarakat bukan dengan paksaan, tetapi melalui kelembutan dan sikap toleran. Bukan pula dengan memberikan iming – iming dan naji belaka, tetapi melalui keteladanan dan aksi nyata seperti diungkapkan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Halaman
Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -
Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar