“JARGON koalisi demi kepentingan rakyat, perjuangan untuk rakyat, pembangunan buat rakyat, kesejahteraan dan kemakmuran untuk rakyat, bukan sebatas slogan tanpa pembuktian” -Harmoko-
Apakah koalisi yang terbentuk sudah final? Jawabnya belum. Koalisi baru disebut final, jika jagonya (capres- cawapres) sudah didaftarkan kepada KPU paling lambat 13 September tahun depan yang kemudian ditetapkan 11 Oktober 2023. Masih ada 10 bulan lagi untuk menguatkan bangunan koalisi, selama tenggat waktu itu pula koalisi yang sudah terbentuk akan menjadi gemuk, terpuruk atau pun ambruk.
Sinyal politik telah diberikan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang akan mengumumkan kandidat capresnya jelang masa pendaftaran. PDIP beberapa kali menetapkan capres pada akhir masa pendaftaran, bahkan injury time.
Segala kemungkinan bisa terjadi, dinamika politik koalisi masih terus bergerak mencari bentuknya yang dirasakan lebih mapan dan nyaman. Mapan karena bergabungnya parpol kuat dan tangguh, terbangunya soliditas untuk memenangkan kontestasi.
Kemapanan itulah yang memberikan kenyamanan, ditambah tak adanya kesangsian lagi soal bagi-bagi kursi kekuasaan di kemudian hari karena telah terjadi adanya kesepahaman (saling pengertian).
Dengan sistem ketatanegaraan yang kita jalani, saya pribadi termasuk yang mendukung bila capres - cawapres diambil dari pimpinan partai koalisi. Mengapa demikian? Karena mereka adalah kader unggulan, sudah berproses sampai mencapai pucuk pimpinan.
Tidak diragukan lagi kualitas dan kapabilitasnya untuk memimpin negeri ini. Apalagi bila memang sudah teruji rekam jejaknya di pemerintahan. Belajar dari pengalaman, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang lalu.
Melalui kolom ini pernah saya sampaikan bahwa bangunan koalisi akan menjadi kokoh dan kuat, setidaknya dengan syarat; Pertama, masing-masing parpol melepaskan ego sektoral, merasa dirinya paling kuat dan hebat, serta banyak peminat.
Kedua, ada komitmen ataupun kesepahaman mengenai visi dan misi, komitmen yang tinggi mengenai manfaat yang didapat (kompensasi), termasuk bagi-bagi kursi kekuasaan.
Ketiga, dibutuhkan sikap legowo yang dapat dimaknai menerima dengan ikhlas dan sabar terkait masalah yang sedang terjadi. Sikap legowo berari pula, masing-masing parpol yang berkoalisi lebih memilih untuk menerima hal yang tidak sesuai ekspektasi, kemudian menjadikannya sebagai pelajaran untuk masa depan.
Keempat, tak kalah pentingnya dibutuhkan sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan dan latar belakang karakter massanya, pendukungnya.
Sikap saling menghargai ini tidak hanya di level atas, petinggi dan elit parpol, tetapi hingga ke akar rumput.
Jika tidak, bangunan koalisi hanya sesaat, untuk memenangkan capresnya, setelah itu kembali ke habitat politiknya. Boleh jadi, lebih terbelah dan terpecah karena salah satu pihak merasa tersakiti, dikhianati.
Diperlukan keteladanan tokoh berpengaruh dengan mengedepankan toleransi,
tenggang rasa, tepo saliro, tidak semena- mena, tidak memaksakan kehendak dan pendapat parpolnya yang paling benar.
Bukan pula saling memprovokasi, apalagi menebarkan sikap saling membenci dan menyakiti. Sebab, tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya, apalagi sikap politiknya. Ingat! Kita tidak dilahirkan untuk saling menyakiti.
Rakyat sadar betul, kita sudah memasuki tahun politik dengan segala dinamikanya sebagai tahun persiapan hajatan terbesar pemilu yang dilaksanakan serentak, yakni pilpres dan pileg, disusul pilkada.
Jika disebut suhu politik makin panas wajar-wajar saja karena menjelang pergantian kepemimpinan nasional. Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin untuk berpikir lebih rasional, bukan emosional, berpikir rasional untuk kepentingan yang lebih luas yaitu kemajuan bangsa.
Negeri jiran, tetangga kita, meski pemilu yang dipercepat karena gejolak politik dalam negeri akibat perebutan kekuasaan selama tiga tahun terakhir, tetap mampu menggelar pemilu pada 19 November 2022 dengan tertib, tanpa gejolak.
Apalagi negeri kita yang tanpa gejolak, hendaknya akan lebih baik lagi.
Kalau terjadi pro dan kontra, beda pendapat, saling menyerang dapat dipahami sepanjang masih dalam batas toleransi untuk saling memperbaiki diri. Tetapi jika menyerang untuk menjatuhkan karena iri dan dengki, semata tidak ingin tersaingi, hanya karena sakit hati, ini bentuk pengingkaran demokrasi Pancasila yang mengajarkan nilai-nilai etik dan moral kebangsaan.
Demokrasi bukan menang-menangan, bukan pula memaksakan, tetapi menyelaraskan semua kepentingan demi membangun bangsa dan negara guna mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Begitupun dalam membangun koalisi, jargon demi kepentingan rakyat, perjuangan untuk rakyat, pembangunan buat rakyat, kesejahteraan dan kemakmuran untuk rakyat dan semuanya untuk rakyat, bukan sebatas slogan.
Janganlah setelah terbangun koalisi, memenangkan kontestasi, lupa dengan jargon koalisinya sehingga rakyat dibiarkan menanti tak pernah menikmati. Padahal rakyat tak hanya dijadikan jargon perjuangan tetapi telah berjuang ikut memenangkan dengan memberikan hak pilihnya.
Bagaikan peribahasa “Gupak pulute, ora mangan nangkane” – sudah ikut berjuang susah payah, tetapi tidak menikmati hasilnya. (Azisoko)