Oleh: Yulian Saputra, Wartawan Poskota
DI tengah ancaman badai resesi, kabar tidak menyenangkan datang dari perindustrian dalam negeri. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa sektor esensial dan kritikal sudah terlihat dan diperkirakan terus berlanjut.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyebutkan, per November 2022 sekitar 79.316 pekerja padat karya seperti garmen dan tekstil terkena PHK. Sebanyak 111 perusahaan di Jawa Barat mengurangi jumlah karyawan, dan 16 perusahaan telah menutup operasi produksinya.
Tak terkecuali bisnis rintisan (startup) dan perusahaan media pun mulai kompak merumahkan pekerja, PHK hingga putus kontrak kerja. Bahkan tak sedikit pengusaha yang telat membayar gaji karyawan.
Secara hukum, pengusaha wajib membayar gaji atau upah pekerja, dan sebaliknya, pekerja berhak atas upah sesuai dengan kesepakatan.
Sebagaimana diatur pada Pasal 88A ayat (3) UU 13/2003 jo. UU 11/2020 dan pasal 55 ayat (1) PP 36/2021 ditegaskan pengusaha wajib membayar upah pada waktu yang telah diperjanjikan dan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja. Artinya tidak dapat dibayarkan terlambat, atau tata cara pembayaran dan jumlahnya tidak sesuai dengan kesepakatan.
Ketentuan selanjutnya yakni dalam pasal 185 ayat (1) dan (2) menyebut penyimpangan dari pasal 88A ayat (3) merupakan tindak pidana kejahatan dan pengusaha dapat dijatuhi sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
Selain sanksi pidana, pasal 88A ayat (6) UU 13/2003 jo. UU 11/2020 menyebut pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dapat dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
Sementara itu, terkait badai PHK, belum lama ini muncul usul penerapan sistem kerja ‘no work no pay’ (tidak bekerja tidak dibayar). Pihak pengusaha mengeklaim sistem tersebut dapat menjadi solusi untuk meminimalisir risiko PHK.
Namun, pihak buruh menolak mentah-mentah usulan tersebut. Pasalnya, asas ‘no work no pay’ sebenarnya sudah sejak lama menjadi asas yang berlaku di dunia ketenagakerjaan, yakni disebutkan bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”.
Hanya saja, pasal tersebut tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah, jika buruh tidak bekerja padahal ia bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pelaku usaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.