Kala itu, perempuan Eropa mulai mengalami krisis identitas sebagai perempuan Eropa namun ingin menyesuaikan diri dengan Kebaya.
Perempuan Eropa di perkotaan seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang enggan mengenakan Kebaya karena takut kehilangan jati diri sebagai orang Eropa.
Namun, ada juga perempuan Eropa yang masih mau mengenakan kebaya dan sarung sebagai bentuk dari kebudayaan setempat.
Di pedalaman Jawa, masih banyak perempuan Eropa yang mengenakan kebaya.
Hal ini mengakibatkan pemerintah Belanda membuat kebijakan agar perempuan Eropa mau mendalami dan membekali diri dengan adat setempat.
Kebijakan tersebut mendorong Njonja (sebutan bagi perempuan Eropa), memiliki peran ganda sebagai orangtua dari anaknya dan orangtua dari pelayan Jawanya.
Njonja juga dituntut untuk dapat belajar Bahasa Melayu, dan mengenakan pakaian adat setempat, termasuk kebaya.
Di masa sekarang, kebaya banyak digunakan untuk berbagai kegiatan, seperti wisuda kelulusan, lamaran hingga pernikahan.
Nah, itu dia sejarah pakaian kebaya yang kini dikampanyekan sebagai Kebaya Goes To UNESCO, semoga bermanfaat ya.
(*)