ADVERTISEMENT

Nuswantara Jaya Kembali (3)

Senin, 24 Oktober 2022 06:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Lebih – lebih di era sekarang ini, di mana negeri kita tengah menghadapi ketidakpastian. Horor krisis pangan, energi, ekonomi dan keuangan. Bahkan, terancam lonjakan utang. Fakta telah membuktikan gotong royong tak hanya merekatkan silaturahmi ( merukunkan) melalui kerja bersama sesama warga, tetangga dan lingkungan sekitarnya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Melalui gotong royong dapat memperkuat kesatuan dan persatuan, juga bisa menjadi sarana meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan sosial sebagaimana cita – cita sejak negeri ini didirikan.

Itulah mengapa sebabnya para pendiri negeri menempatkan “kegotong – royongan” pada butir pertama sebagai pengamalan sila kelima Pancasila.

Keadilan sosial semakin mudah terwujudkan, bilamana setiap anak negeri bersemangat dan peduli mengembangkan sifat sukarela dan saling membantu. Mengutamakan kebersamaan dengan mengikis sikap ego pribadi. Sebaliknya, menjadikan kebersamaan sebagai esensi perilaku gotong royong sebagaimana ajaran para leluhur Nuswantara.

Itu sebabnya, perlunya sinergitas guyub rukun gotong royong bersama dilandasi oleh kesatuan visi dan misi Nuswantara dan misi Pancasila, yakni kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi, tanpa pula adanya kelompok kepentingan politik dan kekuasaan.

Ini pula yang hendaknya menjadi rujukan dalam mengambil kebijakan,lebih – lebih menyangkut kepentingan rakyat, masa depan bangsa dan negara. Begitupun Pokok – Pokok Haluan Negara (PPHN) yang sekarang sedang dirumuskan oleh MPR sejatinya harus dibuat dengan hati yang bersih dan pikiran yang jernih disertai dengan jiwa Pancasilais.

Rakyat sangat berharap rumusan yang benar, adil dan memihak rakyat. Rumusan yang menjadi pedoman bagi kelangsungan hidup bangsa yang maju dan sejahtera, adil dan makmur sentosa. Rumusan boleh saja benar, tetapi tidak tepat seperti pepatah “Benar, ning ora pener”- benar, namun tidak tepat. 

Ini sebuah konsep yang mengajarkan kepada kita untuk senantiasa dituntut adanya kepekaan pikiran dan rasa agar tercipta sebuah sikap atau tindakan yang tidak saja harus benar, namun juga tepat. Maknanya, benar dan lurus sesuai nilai – nilai moral yang luhur, tidak menyimpang dari etika, norma dan budaya bangsa. (Azisoko)

Halaman

ADVERTISEMENT

Berita Terkait
1 tahun yang lalu
1 tahun yang lalu
1 tahun yang lalu
1 tahun yang lalu
1 tahun yang lalu

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT