Sadar Diri

Kamis 13 Okt 2022, 07:11 WIB

“Jangan kotori kehidupan politik dengan ucapan, sikap dan perilaku yang dapat merusak integrasi nasional. Singkirkan prasangka buruk, kembangkan pikiran positif sebagai gerakan moral jelang pilpres,”  -Harmoko-
 
“Masa depan tergantung kepada apa yang kita lakukan di masa sekarang”. Itu kutipan pesan Mahatma Gandhi, sosok pemimpin spiritual dari India, yang sikap dan tutur katanya menjadi inspiratif dunia. Maknanya kita mesti fokus terhadap apa yang harus dilakukan sekarang untuk meletakkan pondasi menuju masa depan yang lebih baik lagi. 

Jika yang kita lakukan sekarang baik, maka masa depan pun akan menjadi baik. Sebaliknya jika sekarang kita banyak melakukan keburukan, maka hasil yang diraihnya pun penuh dengan kebobrokan. Itulah hukum sebab akibat.

Dalam filosofi Jawa dikenal “Ngunduh wohing pakarti” – apa pun yang kita lakukan, perbuat akan membuahkan hasil yang sepadan. Apa yang kita tanam, akan memetik hasilnya. Yang menjadi persoalan apakah yang kita lakukan sudah penuh dengan kebaikan atau keburukan. Sudah menguntungkan banyak orang atau sebaliknya malah merugikan. Sudah membuat situasi semakin kondusif atau kontradiktif. Merukunkan masyarakat atau memecah belah umat.

Jika selama ini ucapannya menimbulkan kegaduhan, sikap dan perilakunya memicu perpecahan, menimbulkan disharmoni, mengarah kepada disintegrasi, hendaknya kini sadar diri. Seperti siuman dari tidur panjang karena terlena beragam godaan. Kemudian mawas diri untuk melakukan perbaikan.

Saat ini menjadi momen penting untuk mawas diri, mengevaluasi diri atas berbagai kekurangan dalam membangun bangsa dan negara. Khususnya bagi elite bangsa, pengelola negara, pengambil keputusan, pelaksana kebijakan.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa tata pengelolaan negara selama lima tahun terakhir ini buruk, yang diwarnai sejumlah kebijakan yang tidak aspiratif, kian memburuk keadaan, bukan memperbaiki keadaan.

Tetapi bahwa perbaikan masih perlu banyak dilakukan dalam banyak hal adalah sesuatu yang tidak boleh dihindarkan. Publik pun lebih memahami dan merasakan dampak yang ditimbulkan. Lebih – lebih di saat hantu resesi ekonomi mengguncang dunia, tekanan ekonomi kian dirasakan masyarakat, utamanya menengah ke bawah sehingga daya beli melemah.

Terindikasi dari pengunjung pasar – pasar tradisional yang belum pulih, di antaranya karena ketidakstabilan harga beragam komoditas pangan dan kebutuhan sehari – hari, menyusul kebijakan pemerintah soal BBM.

Sementara itu, para elite, termasuk yang duduk dalam kabinet seakan terlena, lebih tergoda merumuskan kebijakan untuk melanggengkan kekuasaan, jika tidak disebut asyik menggarap kebijakan pencitraan. Tak urung, kebijakan mendesak untuk rakyat, sepertinya terlewatkan.

Di sisi lain, dinamika politik, meski kian memberi warna demokrasi kita, tetapi ada beberapa hal yang patut mendapat perhatian. Labelisasi kelompok identitas sepertinya perlu direm, jika tidak, semakin memecah belah bangsa.

Dengan memberi label “kelompok identitas” kepada kelompok masyarakat tertentu, tidak secara langsung yang memberi label tersebut telah mengambil  jarak sosial dengan kepada kelompok masyarakat dimaksud. Sudah mengambil batas dan membelah diri karena berbeda aspirasi politiknya.

Berita Terkait

Nuswantara Jaya Kembali (1)

Senin 17 Okt 2022, 06:10 WIB
undefined

Nuswantara Jaya Kembali (3)

Senin 24 Okt 2022, 06:00 WIB
undefined

Nuswantara Jaya Kembali (4)

Kamis 27 Okt 2022, 06:00 WIB
undefined

Resesi Global vs Potensi Lokal

Senin 31 Okt 2022, 06:00 WIB
undefined

Jangan Sebatas Jargon Koalisi

Senin 21 Nov 2022, 06:00 WIB
undefined

News Update