ADVERTISEMENT

Cacat Moral Ide Wapres Jokowi

Selasa, 4 Oktober 2022 06:00 WIB

Share
Presiden Jokowi. (foto: ist)
Presiden Jokowi. (foto: ist)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Oleh:Alfin,WartawanPoskota

IDE mendorong Presiden Jokowi agar maju sebagai Wakil Presiden (wapres) pada Pemilu 2024 tak hanya siasat untuk menerabas konstitusi, tapi juga menampilkan atraksi politik yang cacat moral. Gagasan menjadikan Jokowi wapres ini tak bisa diterima nalar, di mana sebelumnya sudah dua kali menjabat presiden, tapi kemudian digadang-gadang menempati posisi yang lebih rendah.

Dagelan politik ini mencuat berawal dari segerombolan orang yang mengatasnamakan sekretariat bersama Prabowo Subianto-Joko Widodo mengusung kedua politikus itu sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024. Deklarasi Prabowo-Jokowi ini digelar pada medio Januari lalu. Politik memang dinamis. Namun perlu diingat bahwa mengusung Jokowi menjadi calon wakil Prabowo adalah penampakan nyata kecacatan moral politik.

Keduanya merupakan rival dalam dua kali pemilu terdahulu. Prabowo yang dua kali menerima kekalahan kini justru ditarik masuk ke kabinet Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Santer disebut-sebut rival sejati, kemudian berpelukan dalam satu rezim, dan kini keduanya didorong untuk berpasangan melanjutkan kekuasaan. Moral politik apa yang hendak mereka tunjukkan?

Secara hukum, Jokowi semestinya tak lagi bisa menjadi calon wakil presiden. Ada dua argumen untuk membuktikan hal ini. Pertama, amendemen konstitusi yang memiliki prinsip membatasi kekuasaan dengan berangkat dari pengalaman pahit Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun. Pasal 7 UUD 1945 dengan gamblang menyebutkan tak membolehkan presiden dua periode menjadi wakil presiden.

Kedua, konteks penafsiran sistematis atas ketentuan tersebut tak bisa berdiri sendiri karena berkaitan dengan Pasal 8 yang menyebutkan wakil presiden menggantikan presiden yang berhalangan tetap. Maksudnya, jika Jokowi terpilih menjadi wakil presiden pada 2024, dia tidak bisa melaksanakan Pasal 8 UUD 1945 untuk menggantikan presiden yang mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak bisa melakukan kewajibannya.

Ini karena Jokowi terganjal oleh Pasal 7 yang menyebutkan presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Sebab itu, Jokowi yang sudah menjadi presiden dua periode tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon wakil presiden.

Argumen ini sekaligus membantah pandangan Kepala Bagian Humas Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, yang dengan gegabah menyatakan presiden yang telah menjabat dua periode bisa menjadi calon wakil presiden, karena hal itu secara eksplisit tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pernyataan Fajar ini jelas menyesatkan.

Yang lebih disayangkan lagi adalah saat di mana pimpinan Mahkamah Konstitusi terkesan membela Fajar dengan hanya memberi klarifikasi bahwa pernyataan itu bukan pandangan resmi institusi mereka, tapi hanya merupakan komentar pribadi seorang humas. Padahal, lembaga peradilan tinggi ini harusnya mengeluarkan sikap tegas untuk membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka independen dan tak bisa diintervensi oleh kepentingan politik mana pun.

Tapi apakah Mahkamah Konstitusi memang independen? Kepercayaan publik tentu terusik kala mengetahui bahwa ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, kini sudah resmi menjadi adik ipar Jokowi. Kedekatan itu tak cuma mengancam independensi Mahkamah Konstitusi. Lebih dari itu, kita akan melihat bagaimana karpet merah gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu yang dilayangkan relawan Prabowo-Jokowi kembali dibentangkan.(*)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT