ADVERTISEMENT

Menjiwai Pancasila

Kamis, 29 September 2022 06:30 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Sudah sering disarankan agar para elite parpol, caleg, kandidat capres ataupun calon kepala daerah tidak menggunakan cara – cara politik identitas, tetapi faktanya dari pemilu ke pemilu, isu – isu soal identitas tetaplah merebak. Alasannya klasik, isu ini paling laku dijual karena menggugah ikatan emosional.

Di sisi lain, parpol kita terpecah pada basis kekuatan nasionalis dan religius. Itulah sebabnya menggabungkan dua kekuatan parpol berbasis nasionalis dan religius dengan membentuk koalisi mengusung capres, bagian dari upaya menyatukan dua kekuatan yang berbeda latar belakang, menyatukan keberagaman.

Bagunan koalisi akan menjadi kokoh dan kuat, dengan syarat; Pertama, masing – masing parpol melepaskan ego sektoral, merasa dirinya paling kuat dan hebat, banyak peminat. Kedua, menghargai dan menghormati perbedaan dan latar belakang karakter massanya, pendukungnya.

Sikap saling menghargai ini tidak hanya di level atas, petinggi dan elit parpol, tetapi hingga ke akar rumput. Jika tidak, bangunan koalisi hanya sesaat, untuk memenangkan capresnya, setelah itu kembali ke habitat politiknya. Boleh jadi, lebih terbelah dan terpecah karena salah satu pihak merasa tersakiti, dikhianati.

Diperlukan keteladanan tokoh berpengaruh dengan mengedepankan toleransi, tenggang rasa, tepo saliro, tidak semena- mena, tidak memaksakan kehendak dan pendapat parpolnya yang paling benar.

Bukan pula saling memprovokasi, apalagi menebarkan sikap saling membenci dan menyakiti. Sebab, tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Ingat! Kita tidak dilahirkan untuk saling menyakiti.

Keteladanan melalui aksi nyata perlu diawali dari para elite politik dan pemerintahan, tokoh agama dan masyarakat melalui ucapan dan perilakunya dalam kehidupan sehari – hari seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Tentu sikap menghargai keberagaman, dengan tidak mengungkit perbedaan akibat keberagaman.

Kembali kepada jati diri, dengan menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan sebagaimana butir pertama pengamalan sila ketiga Pancasila.
Bagaimana menghidupkan Pancasila dalam jiwa kita, termasuk ketika menjalankan praktik politik jelang pilpres, itulah tantangan aktual sekarang ini, agar Pancasila tak menjadi teks mati di atas kertas dan lembaran menempel di dinding. Bukan semata - mata hafalan anak sekolah dan bagian dari seremonial belaka.

Mari setia kepada Pancasila dengan sepenuh hati, bukan setengah hati. Mari kita mewarisi Pancasila dengan nilai- nilainya sebagai ideologi yang hidup, bukan slogan semata, melainkan petunjuk lengkap bagaimana kehidupan sehari - hari kita dilakukan. Bukan saja untuk masa sekarang dan mendatang, tapi sampai nanti, tanpa batas waktu, selama NKRI berdiri. (Azisoko)

Halaman

ADVERTISEMENT

Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT