Oleh: Julian S, Wartawan Poskota
BEBERAPA waktu belakangan, kebijakan berkaitan dengan penggunaan kompor induksi alias kompor listrik 1.000 watt di rumah tangga terus digeber.
Salah satunya melalui penyaluran kompor induksi ke 300 ribu Keluarga Penerima Manfaat dengan golongan daya listrik 450 VA dan 900 VA. Program ini telah menyasar masyarakat di Solo, Jawa Tengah dan Denpasar, Bali.
Pembagian kompor listrik gratis oleh Kementerian ESDM itu sebagai implementasi dari program konversi kompor gas yang menggunakan elpiji 3 kg ke kompor listrik. Pemerintah meyakini peralihan penggunaan sumber energi ini akan menurunkan konsumsi LPG termasuk subsidinya.
Kendati demikian, rencana kompor listrik itu tak otomatis mendapat dukungan publik. Banyak yang berkeberatan karena diperkirakan butuh waktu lama untuk masyarakat beradaptasi dan melakukan persiapan penggunaannya.
Selain itu, biaya transisi ke kompor listrik dinilai bakal jadi beban baru. Pasalnya, tidak semua kompor listrik bisa diberi gratis plus alat masak khusus.
Jika warga miskin disuruh beli kompor listrik sendiri sepertinya hanya menambah beban di tengah naiknya biaya hidup akibat inflasi.
Tidak hanya itu, infrastruktur listrik di kantong-kantong kemiskinan meskipun rasio elektrifikasinya pun tinggi, tapi masih terdapat keluhan pemadaman pada jam tertentu. Karena jika terjadi pemadaman, maka aktivitas rumah tangga/penggunaan kompor listrik bisa terganggu.
Dalam kondisi tertentu kelompok rumah tangga miskin terpaksa mengeluarkan uang untuk membeli genset sebagai cadangan tenaga listrik.
Di sisi lain, pemakaian kompor listrik secara masif tentu bakal menguntungkan produsen alat masak tersebut. Salah satu produsen kompor listrik terpopuler di dalam negeri ialah PT Hartono Istana Teknologi atau akrab dikenal dengan sebutan Polytron.
Perusahaan milik orang terkaya di Indonesia, yakni Robert Budi Hartono dan Michel Hartono alias Hartono bersaudara itu menjadi salah satu dari lima perusahaan yang menyatakan minat memproduksi kompor listrik.