“Bro, lo sudah siapkan mahar. Katanya mau ijab kabul,” tanya Yudi mengawali obrolan di warteg sambil maksi bersama sohibnya, Heri dan mas Bro.
“Wah... diam – diam sudah punya calon nih..” ledek Ayu Bahari, pemilik warteg ujung gang.
“Itu hoax Yu, calon saja belum punya,” jawab mas Bro.
“Bukan mahar buat nikah, tapi untuk nyaleg (nyalon anggota legislatif),”jelas Yudi.
“Memangnya untuk nyaleg mesti pakai mahar segala mas?,” tanya Ayu menimpali. “Kayak mau nikah saja pakai mahar,” tambah Ayu
“Iya biasanya begitu, biar lancar pencalonan dan dapat dukungan parpol,” celetuk Heri.
“Tapi nggak semuanya pakai syarat mahar. Banyak juga parpol yang tidak meminta mahar kepada kandidat, apakah caleg,calon kepala daerah maupun capres.” tambah Yudi.
“Lagian siapa yang mau nyaleg, nggak ada tampang kali,” kata mas Bro .
“Loh nasib orang tak dapat diduga. Banyak pejabat publik yang dulunya rakyat biasa,bahkan, ada yang pernah menjadi pedagang asongan,” ujar Yudi.
“Iya tapi aku nggak berminat menjadi pejabat dan wakil rakyat kalau tidak bisa merakyat. Tak bisa memperjuangkan nasib rakyat,” ucap mas Bro sombong.
“ Gue yakin bukan itu alasannya, tetapi lo emang nggak punya bakat jadi pejabat. Lagian nggak punya modal juga,” kata Yudi.
“Sesama teman nggak boleh buka kartu mas, pamali...” sela Ayu.
“ Nggak buka kartu Yu, tapi kenyataan kita – kita ini nggak punya tampang. Apalagi kalau pakai mahar politik segala. Belum tentu jadi, sudah keluar uang. Kalau jadi cari sampingan untuk bayar utang,” ujar Yudi.
“Iya juga kalau mikirin balik modal, kerja jadi nggak fokus, gimana mau mikirin rakyat coba.Benar kan Bro?” kata Heri.
“Aku iyain aja dech biar kalian senang..” jawab mas Bro. (jokles).