ADVERTISEMENT

PN Malang Eksekusi Pengosongan Rumah 2 Dokter Cantik dan Belasan Ruko Milik Pengacara Tanpa Ada Kepastian Hukum, Capim KPK: Itu Pengadilan Sesat!

Sabtu, 27 Agustus 2022 13:59 WIB

Share
JJ. Amstrong Sembiring, Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019 - 2023 saat beraudiensi dengan jajaran Pengadilan Negeri Malang pada Kamis (25/8/2022) terkait ricuhnya eksekusi dua rumah dokter cantik dan sejumlah ruko milik pengacara di Kota Malang.(ist)
JJ. Amstrong Sembiring, Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019 - 2023 saat beraudiensi dengan jajaran Pengadilan Negeri Malang pada Kamis (25/8/2022) terkait ricuhnya eksekusi dua rumah dokter cantik dan sejumlah ruko milik pengacara di Kota Malang.(ist)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

"Awal bilang bahwa eksekusi berdasarkan penetapan No 14 Tahun 2022, kemudian malah bilang hasil delegasi PN Tuban. Yang benar mana? Alas hukum yang dipakai apa? Jadi saya menilai eksekusi yang dilakukan PN Malang terhadap harta benda milik Valentina dan dua dokter Gladys dan Gina serampangan. Seenak udelnya dalam melaksanakan perintah Mahkamah Agung. Sedangkan pelaksanaan eksekusi harus ada kepastian hukum. Ini sesat," ujar Amstrong heran.

Poskota.Co.Id saat mengkonfirmasi persoalan di atas kepada juru bicara PN Malang Syafruddin beberapa waktu lalu menegaskan bahwa eksekusi pengosongan dua rumah milik dr Gladys dan Gina serta sejumlah ruko dan klinik milik FM Valentina berdasarkan permohonan lelang dan sudah ada penetapannya di No 14 Tahun 2022.

"Ada hak tanggungan, ada yang dijaminkan. Setelah kami cek, baik ke Panitera Muda atau SIPP tidak ada kaitannya dengan PK 598," kata Syafruddin.

Mengomentari pernyataan Syaruddin, Amstrong menilai bahwa terjadi sebuah anomali hukum. Padahal hukum itu butuh kepastian. 

"Perkara ini kan hasil delegasi dari PN Tuban berupa produk hukum PK 598 yang isinya bersifat declaratoir (deklarasi) dan ada condemnatoir (menghukum). Namun dalam diktum condemnatoirnya tak disebutkan obyek-obyek apa saja yang harus dibagi," paparnya.

Selain itu, lanjut Amstrong, kalau pun kemudian pihak penggugat sebagai pemenang mengajukan data-data obyek rumah dan ruko ke pengadilan sebagai obyek yang harus dibagi, penetapannya pun tidak ada. 

"Penggugat sudah almarhum. Ahli warisnya siapa? Penetapan pengadilannya mana? Penetapan obyek-obyek yang harus dibagi tidak kongkrit dalam putusan PK. Jadi ini jelas executable (tidak ada yang bisa dieksekusi). Saat diskusi ada seorang staf atau hakim yang mengatakan bahwa  eksekusi itu berdasarkan consideran (pertimbangan hukum). Nggak bisa! Nggak bisa dari pertimbangan hukum! Saya suruh baca buku pedoman dari Ditjen Badilum Mahkamah Agung dalam pelaksanaan eksekusi," cetusnya.

Amstrong menjelaskan bahwa amar putusan itu harus rinci, obyek apa saja yang harus dibagi. Di amar itu kan tidak ada obyek apa saja yang harus dibagi. Kalau tidak diuraikan secara detail menimbulkan dampak pada eksekusi yang telah dilakukan menjadi 'bias'. 

"Akhirnya hakim Indarto itu menjawab "Saya tidak mau berdebat. Saya tetap melaksanakan". Ya saya bilang kehadiran saya hanya berdiskusi. Akhirnya hakim Indarto itu mempersilakan saya untuk mengutarakan dalam surat (keberatan-keberatan eksekusi yang dilakukan pengadilan)," jelasnya.

Amstrong mengakui bahwa amar putusan PK 598 itu harus dihormati sebagai produk hukum, kendati dinilainya cacat. Tapi amar putusan itu tidak dilaksanakan dengan benar. 

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT