Poskota.Co.Id saat mengkonfirmasi persoalan di atas kepada juru bicara PN Malang Syafruddin beberapa waktu lalu menegaskan bahwa eksekusi pengosongan dua rumah milik dr Gladys dan Gina serta sejumlah ruko dan klinik milik FM Valentina berdasarkan permohonan lelang dan sudah ada penetapannya di No 14 Tahun 2022.
"Ada hak tanggungan, ada yang dijaminkan. Setelah kami cek, baik ke Panitera Muda atau SIPP tidak ada kaitannya dengan PK 598," kata Syafruddin.
Mengomentari pernyataan Syaruddin, Amstrong menilai bahwa terjadi sebuah anomali hukum. Padahal hukum itu butuh kepastian.
"Perkara ini kan hasil delegasi dari PN Tuban berupa produk hukum PK 598 yang isinya bersifat declaratoir (deklarasi) dan ada condemnatoir (menghukum). Namun dalam diktum condemnatoirnya tak disebutkan obyek-obyek apa saja yang harus dibagi," paparnya.
Selain itu, lanjut Amstrong, kalau pun kemudian pihak penggugat sebagai pemenang mengajukan data-data obyek rumah dan ruko ke pengadilan sebagai obyek yang harus dibagi, penetapannya pun tidak ada.
"Penggugat sudah almarhum. Ahli warisnya siapa? Penetapan pengadilannya mana? Penetapan obyek-obyek yang harus dibagi tidak kongkrit dalam putusan PK. Jadi ini jelas executable (tidak ada yang bisa dieksekusi). Saat diskusi ada seorang staf atau hakim yang mengatakan bahwa eksekusi itu berdasarkan consideran (pertimbangan hukum). Nggak bisa! Nggak bisa dari pertimbangan hukum! Saya suruh baca buku pedoman dari Ditjen Badilum Mahkamah Agung dalam pelaksanaan eksekusi," cetusnya.
Amstrong menjelaskan bahwa amar putusan itu harus rinci, obyek apa saja yang harus dibagi. Di amar itu kan tidak ada obyek apa saja yang harus dibagi. Kalau tidak diuraikan secara detail menimbulkan dampak pada eksekusi yang telah dilakukan menjadi 'bias'.
"Akhirnya hakim Indarto itu menjawab "Saya tidak mau berdebat. Saya tetap melaksanakan". Ya saya bilang kehadiran saya hanya berdiskusi. Akhirnya hakim Indarto itu mempersilakan saya untuk mengutarakan dalam surat (keberatan-keberatan eksekusi yang dilakukan pengadilan)," jelasnya.
Amstrong mengakui bahwa amar putusan PK 598 itu harus dihormati sebagai produk hukum, kendati dinilainya cacat. Tapi amar putusan itu tidak dilaksanakan dengan benar.
"Ini saya melihat penterjemahan dalam putusan tersebut dilakukan PN Malang. Dengan kata lain, amar putusan tersebut tidak bisa dilaksanakan (executable), kalau itu dilaksanakan berarti ada oknum yang memaksakan untuk dilaksanakan putusan tersebut walaupun kontradiktif. Asosiasinya mafia pengadilan. Jadi kalau sudah terlaksana eksekusi. PN Malang pengadilan sesat!" ujarnya kesal.
Hakim Syafruddin kepada Poskota.Co.Id bersedia menjelaskan bahwa dalam penerjemahan putusan sebuah PK (tapi dia tak menyebutkan No PK-nya).
"Sepanjang para pihak mengakui bahwa permasalahan obyeknya A B C D. Ini yang dipermasalahkan para pihak akui, kan itu ada pemeriksaan setempat. Kalau ini (harta A B C D) yang diakui dilaksanakan para pihak," terangnya.