SERANG, POSKOTA.CO.ID - Keinginan Imam Fauzi, terdakwa dugaan korupsi proyek fiktif pada anak perusahaan Pertamina (PT IAS) tahun 2021 senilai Rp 8,1 miliar untuk dibebaskan dari jerat surat dakwaan JPU Kejati Banten tidak digubris majelis hakim pengadilan Tipikor Serang.
"Menyatakan nota keberatan (eksepsi) kuasa hukum terdakwa Imam Fauzi tidak dapat diterima," ujar Ketua Majelis Hakim Slamet Widodo saat membacakan amar putusan sela, Kamis (18/8/2022).
Dalam amar putusan sela yang dibacakan, majelis hakim menilai surat dakwaan JPU Kejati Banten sudah sah sebagai dasar pemeriksaan perkara.
"Memerintahkan kepada penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut," ungkap Slamet dalam sidang yang dihadiri JPU Kejati Banten Subardi dan Indah Kurniati serta terdakwa dan kuasa hukumnya.
Anggota majelis hakim, Novalinda Arianti menjelaskan alasan penolakan eksepsi tersebut karena surat dakwaan JPU dianggap sudah memenuhi syarat formil dan materil.
Majelis tidak sependapat dengan eksepsi kuasa hukum terdakwa yang menyatakan surat dakwaan tidak jelas dan lengkap. "Surat dakwaan jaksa penuntut umum sudah memenuhi syarat formil dan materil sesuai Pasal 143 KUHAP," ungkap Novalinda.
Majelis hakim juga menilai eksepsi yang disampaikan Vice President Business Development PT Indopelita Aircraft Service (IAS) melalui kuasa hukumnya terkait aliran uang dalam kasus tersebut sudah memasuki pokok perkara sehingga patut untuk ditolak.
"Menimbang nota eksepsi terdakwa sudah memasuki pokok perkara sehingga tidak dapat terima," kata Novalinda.
Selain eksepsi Imam Fauzi, majelis hakim juga menolak eksepsi yang diajukan oleh Dedi Susanto melalui kuasa hukumnya. Eksepsi senior manager operation dan manufacture PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) RU VI Balongan itu juga dianggap sudah memasuki pokok perkara.
"Menurut majelis hakim eksepsi penasehat hukum terdakwa (Dedi Susanto-red) sudah memasuki pokok perkara yang membutuhkan proses pembuktian di persidangan," kata Novianda.
Imam dan Dedi didakwa JPU Kejati Banten telah melakukan korupsi secara bersama-sama tiga terdakwa lain. Mereka, Singgih Yudianto selaku mantan direktur keuangan PT IAS. Andrian Cahyanto selaku direktur utama PT Aruna Karya Teknologi Nusantara (AKTN) dan Sabar Sundarelawan selaku mantan President Director PT IAS.
Kelimanya oleh JPU telah melakukan tindak pidana korupsi dua proyek fiktif di PT IAS. Nilai proyek fiktif yang dibayarkan PT IAS kepada PT AKTN sebesar Rp8,1 miliar. "Dengan nilai Rp 8.191.599.534," ujar Indah saat membacakan surat dakwaan beberapa waktu yang lalu.
Dari proyek fiktif tersebut, terdakwa Sabar Sundarelawan menerima uang Rp500 juta, Singgih Yudianto Rp500 juta, Dedi Susanto Rp3,4 miliar lebih. Lalu, Imam Fauzi Rp120 juta, saksi Ratna Sari Rp1,6 miliar. "Dan memperkaya terdakwa Andrian Cahyanto dan atau dari PT AKTN Rp 1,9 miliar lebih,"ungkap Indah.
Indah mengatakan, perbuatan kelima terdakwa baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama telah mengarahkan, menyetujui dan memerintahkan pembayaran pekerjaan sesuai dengan SPK 204 tanggal 29 Juli 2021 dan SPK 205 tanggal 29 Juli 2021 kepada PT AKTN.
"Padahal, pekerjaan tersebut belum ada kontrak induk dan tidak pernah dikerjakan atau fiktif," kata Indah. (haryono)