Pengacara Keluarga Korban Sebut Brigadir J Diduga Dibunuh Dalam Perjalanan Magelang-Jakarta, Praktisi Hukum : Tak Logis

Selasa 19 Jul 2022, 22:00 WIB
Polisi lakukan pemeriksaan CCTV di halaman rumah Kadiv Propam Polri. (zendy)

Polisi lakukan pemeriksaan CCTV di halaman rumah Kadiv Propam Polri. (zendy)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Praktisi hukum Ricky Vinando menilai kasus penembakan Brigadir J dinilai tak masuk logika hukum tersebut. Menurutnya, banyak yang tidak logis dari pernyataan kuasa hukum keluarga korban Brigadir J.

‘’Kita runut supaya jelas. Kuasa hukum keluarga korban menyebut ada penganiayaan di sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta karena ada luka dibagian kepala belakang Brigadir J, dia menduga orang yang duduk di kursi tengah belakang yang melakukannya. Jarak tempuh Magelang-Jakarta tujuh jam, dari Magelang-Jakarta jam 10 pagi pada 8 Juli, tiba di Jakarta perkiraan jam lima sore, saat dihubungi jam lima sore, sudah tak bisa lagi dihubungi, sehingga kuasa hukum menduga perbuatan dilakukan sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta", kata Ricky Vinando dalam keterangannya Selasa (18/07/2022).

"Dalam LP ada Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan mengakibatkan matinya orang lain, lalu kenapa ada juga pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana? Apa Brigadir J memiliki dua nyawa, jadi LP itu tak logis", beber Ricky.

 

"Bagaimana logika hukumnya bilang kemungkinan mati di sepanjang jalan Magelang-Jakarta atau di rumah dinas? Kok TKP dialternatifkan? Harus jelas dan tak bisa asumsi. Saya ikuti cara berpikirnya. Kalau misal mati di sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta, kenapa malah ada pasal 340 yang akibatnya juga mati? Jadi, tidak jelas LP yang dibuat kemarin. Satu sisi lainnya juga bicara mungkin mati di rumah dinas, lah ngapain bawa 351 ayat 3 KUHP yang akibatnya juga mati? Kan jadinya tidak jelas. Pasal 351 ayat 3 penganiayaan yang akibatnya mati, kemudian pasal 340 jo 338 KUHP akibatnya juga mati. Jadi mati dua kali?’’, tambah Ricky.

Ricky mempertanyakan, bagaimana logika hukumnya bisa mati untuk yang kedua kali karena Pasal 340 jo 338 setelah mati pertama karena Pasal 351 ayat 3 KUHP. Menurutnya,  secara hukum tuduhan bahwa seolah ada penganiayaan sepanjang perjalanan Magelang-Jakarta menjadi sangat lemah, “Karena sampai saat ini belum keluar hasil otopsi oleh dokter forensik, tapi justru kuasa hukum keluarga korban Brigadir J justru telah membuat kesimpulan sendiri seolah ada penganiayaan pada tubuh Brigadir J,” paparnya.

Ricky juga menyebut bahwa kuasa hukum keluarga korban tak berwenang menyebut ada lebam-lebam pada tubuh korban, karena soal lebam yang ditemukan pada Brigadir J, menurutnya itu harus dokter forensik yang memastikan lewat pemeriksaan otopsi soal lebam disebabkan apa, apakah itu livor mortis alias lebam mayat setelah kematian klinis atau ada penganiayaan.

 

Kemudian dari segi ilmu kedokteran forensik pada tubuh orang yang meninggal, memang ada livor mortis bahkan mata, kulit, temparatur tubuh juga mengalami perubahan.

‘’Soal banyak lebam-lebam, saya kira kuasa hukum keluarga korban Brigadir J harus mempelajari terlebih dahulu ilmu kedokteran forensik soal livor mortis pada mayat, karena itu ilmu penunjang hukum pidana, karena tak bisa bicara lebam lebam seolah ada penganiayaan jika belum keluar hasil otopsi yang dibuat oleh dokter forensik. Karena soal lebam pada mayat, soal seolah-olah luka sayatan bahkan luka tusukan, itu hanya bisa disimpulkan oleh yang berwenang yaitu dokter forensik melalui hasil otopsi, itu nanti disampaikan tim khusus yang dibentuk Kapolri,” imbuh Ricky.

Dirinya menyebut bahwa tudingan seolah adanya pembunuhan berencana adalah lemah secara hukum, karena kuasa hukum keluarga korban Brigadir J tidak bisa menyebut apa motif pembunuhan berencana. Sehingga LP benar-benar sangat lemah tak hanya soal Pasal 351 ayat 3 saja tapi juga soal pasal 340 jo 338 KUHP.

 

“LP dengan Pasal 340 KUHP, pertanyaan besarnya, apa motifnya? Kan pembunuhan berencana harus ada motif yang melatarbelakangi terjadinya pembunuhan berencana, tidak ada pembunuhan berencana tanpa motif. Jadi, benar-benar tidak jelas pasal—pasal dalam LP tersebut utamanya soal 340 jo 338 jo 351 ayat 3 KUHP. Jadi pernyataan yang disampaikan juga tak logis", tambahnya

Ricky memberikan contoh. A menjadi korban penganiayaan mengakibatkan kematian, lalu kuasa hukum juga bawa-bawa pasal pembunuhan berencana, itu logika hukumnya bagaimana? Karena dua perbuatan yang berbeda, dan akibatnya sama-sama mati, misal sudah mati satu kali, bagaimana bisa mati kedua kali.

"Bisa mati dua kali dari dua perbuatan yang berbeda yang akibatnya sama-sama mati, mati lalu hidup lagi lalu mati lagi?? caranya bagaimana? Seperti zombie saja, harusnya tidak ada LP itu sebelum rampungnya investigasi dari tim khusus yang dibentuk Kapolri. Karena tidak ada itu perbuatan Pasal 340 jo 338 jo 351 ayat 3 KUHP sebagaimana dalam LP tersebut karena banyak tak logisnya’’, tambah Ricky

Seperti diketahui Pihak keluarga Brigadir J yang diwakili oleh kuasa hukumnya akhirnya membuat laporan polisi kasus dugaan pembunuhan ke Bareskrim Polri. Hal ini terkait dengan kasus penembakan Brigadir J oleh Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo.

 

"Kenapa kita menyebut Magelang-Jakarta? Karena jam 10.00 dia masih aktif komunikasi, baik melalui telepon maupun WA, kepada orang tuanya, khususnya melalui WA keluarga. Tetapi setelah jam 10.00 almarhum minta izin mau mengawal atasan atau komandannya yang dikawal dengan asumsi perjalan tujuh jam. Jadi, artinya tujuh jam jangan ada telepon dulu karena jam 10.00 pagi itu di Magelang tanggal 8 Juli 2022," kata Kamaruddin Simanjuntak kepada awak media kemarin di Bareskrim Polri, Jakarta Senin (18/7/2022).

"Jadi percakapan terakhir di Balige, Sumatera Utara, dengan korban di Magelang. Setelah jam 10.00 dia minta izin mengawal balik ke Jakarta. Jadi tidak etis seorang ajudan mengawal pimpinan masih WA dan telepon-telepon. Tujuh jam jangan diganggu dulu," ujarnya.  (*/Adji)

Berita Terkait
News Update