JAKARTA, POSKOTA.CO.ID – Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu berkomentar soal batas Garis Kemiskinan (GK) pada Maret 2022 yang sebesar Rp505.469,00/kapita/bulan, sesuai putusan Badan Pusar Statistik.
Said Didu menyebeut bahwa artinya dengan patokan angka itu, orang dengan pendapatan di atas Rp505 ribu per bulan dianggap tidak miskin, dan yang berpendapatan kurang dari itu masuk kategori miskin.
Lantas Mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu mempertanyakan apakah angka tersebut rasional di tengah harga yang semakin tinggi. Said Didu juga mempertanyakan bagaimana BPS mengukur kemiskinan.
Sebelumnya diketahui, BPS menjelaskan beberapa poin mengenai kemiskinan melalui akun Twitter milik lembaga tersebut. Adapun, BPS menjelaskan bahwa mereka menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
"Artinya, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar manusia adalah makanan. Tetapi tidak hanya makanan, BPS juga menimbang dari kebutuhan dasar bukan makanan," tertulis dalam cuitan akun Twitter BPS @bps_statistics, dikutip pada Sabtu (16/7/2022).
Kemudian, BPS juga menjelaskan bahwa Garis Kemiskinan sendiri terdiri dari dua komponen yakni Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM).
BPS melakukan penghitungan Garis Kemiskinan itu secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan, hal itu dilakukan karena perbedaan karakteristik.
Sumber data utama yang dipakai untuk menghitung tingkat kemiskinan yakni dari Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas.
Dalam data tersebut, Garis Kemiskinan pada Maret 2022 tercatat sebesar Rp505.469,00/kapita/bulan.
“Jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang, menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.,” tulis akun Twitter BPS.
“Persentase penduduk miskin pun pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen, menurun 0,17 persen poin terhadap September 2021 dan menurun 0,60 persen poin terhadap Maret 2021.,” lanjutnya.
Garis Kemiskinan menurut penghitungan BPS lantas membuat Said Didu heran. Ia mempertanyakan apakah indikator BPS tersebut menyatakan orang yang berpendapatan di atas Rp505 ribu per bulan dianggap tidak miskin.
"Ternyata yg termasuk orang miskin adalah yg berpenghasilan kurang dari Rp505.000 per bulan? Supaya jelas, dg indikator tsb orang yg berpendapatan Rp 510.000 per bulan (misalnya) bukan orang miskin," ucap Said Didu melalui akun Twitter pribadi miliknya @Msaid_didu pada Sabtu (16/7/2022).
Lebih lanjut Said Didu juga mempertanyakan rasionalitas dari angka garus kemiskinan tersebut. Dia juga mempertanyakan bagaimana BPS mengukur kemiskinan.
"Rasionalkah angka itu dg harga2 yg makin tinggi spt sekarang? Sebenarnya bagaimana BPS mengukur kemiskinan?," cuit Said Didu soal data Garis Kemiskinan dari BPS. (frs)