Oleh: Alfin Pulungan, Wartawan Poskota
TAK ada yang lebih cepat untuk merogoh kocek selain berdonasi kepada kaum duafa. Siapapun orangnya, terlepas dari agama yang ia anut, tak akan kuasa melihat penderitaan saudaranya terabaikan begitu saja. Pertolongan terhadap mereka yang membutuhkan biasanya dilakukan oleh lembaga filantropi lewat visualisasi kaum mustadh'afin.
Para kaum papa itu gencar divisualkan melalui poster-poster dengan roman wajah yang pilu, penuh derita, hingga tak jarang menampilkan balutan darah yang seringkali menyayat hati. Secara teknis tak ada yang salah dengan cara lembaga filantropi menarik simpati publik untuk berdonasi. Namun akan bermasalah jika pungutan uang donasi itu dikelola secara manipulatif.
Praktik manipulasi dana umat itu terjadi di Indonesia lewat lembaga ACT. Donasi publik yang dikumpulkan ACT dari beragam cara diselewengkan demi menggaji para petingginya dengan nilai fantastis. Tak hanya itu, pemakaian dana sumbangan yang seharusnya diperuntukkan bagi penerima manfaat, justru ditilap untuk keperluan gaya hidup petinggi ACT dan keluarganya.
Pengumpulan donasi umat yang semestinya perbuatan mulia, ternoda oleh pengelola donasi yang mata duitan. Jika kita menonton pernyataan dari petinggi ACT, intinya tidak ada yang namanya gaji, yang ada adalah apa yang mereka sebut sebagai 'biaya operasional'.
Mirisnya, dalih biaya operasional itu terlihat dari fasilitas jor-joran untuk para bos ACT berupa gaji Rp250 juta per bulan untuk pendiri, Rp200 juta per bulan untuk Presiden, dan Rp150 juta per bulan untuk Senior Vice President serta mobil dinas mewah seperti Toyota Alphard, Pajero Sport, dan Honda CR-V.
Klarifikasi dari pemimpin ACT juga mengungkap bahwa pengelolaan donasi selama ini boleh mengambil dana operasional sebesar 13,7 persen hingga 30% persen (fluktuatif) dari donasi untuk lembaga, bergantung pada sulitnya medan dalam menyalurkan donasi.
Apakah benar praktik itu diperbolehkan? Lantas siapa yang membolehkan? Siapa pula yang menetapkan persentase sebesar itu? Kita akan terus bertanya-tanya jika melihat setiap iklan ACT yang dipublikasikan tak pernah sekalipun diinfokan adanya pemotongan 'biaya operasional' sekian persen dan sekian rupiah. Akhirnya, lembaga filantropi ini lolos dari akuntabilitas dan transparansi.
Guna mencegah penyelewengan dana umat oleh lembaga filantropi, kuncinya adalah tegakkan hukum. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 sudah mengatur lembaga filantropi boleh memotong sumbangan tak lebih dari 10 persen untuk dana operasional.
Teruntuk masyarakat dermawan, sudah saatnya sadar untuk mengetahui ke mana uang sumbangan kalian lari. Sekarang sudah terungkap, selama ini gaji para bos lembaga amal yang hidup dari mengemis rasa kasihan umat nyatanya jauh lebih besar dari gaji para Direktur Bank.
Yang satu berpeluh keringat sampai menangis darah mencari uang, satunya lagi berpeluh dan menangis jual penderitaan orang demi fulus umat. Jangan lagi tertipu dengan visualisasi penderitaan kaum duafa lewat iklan-iklan ACT. Karena wujud di balik poster-poster itu adalah Alphard, Pajero Sport, CR-V, dan gaji Rp250 juta.