Ketua DPRD Kabupaten Bogor, Rudy Susmanto Akan Lakukan Langkah Konkret Terkait Dugaan Penyalahgunaan Dokumen Hak Tanah Milik Petani 

Kamis 30 Jun 2022, 11:22 WIB
Foto : Penerimaan audiensi oleh Ketua DPRD Kabupaten Bogor. (Poskota/Panca Aji)

Foto : Penerimaan audiensi oleh Ketua DPRD Kabupaten Bogor. (Poskota/Panca Aji)

Rudy pun menyarankan, ke depannya, surat audiensi yang dikirim kepada DPRD Kabupaten Bogor oleh para petani melalui LPRI, baiknya ditujukan pula kepada Satgas Mafia Tanah, Kejaksaan Agung, Kejaksaan Negeri dan Polres Bogor dengan tujuan agar proses tindak lanjut atas aspirasi petani tersebut berjalan dengan baik. 

"Tentunya saya mengapresiasi bapak-bapak sekalian yang datang ke kantor DPRD, tujuannya adalah untuk silaturahmi dan musyawarah supaya nanti di lapangan kita sama-sama sepakat, supaya nanti pengurusan prosedur terkait permasalahan ini kita bicarakan dengan cara baik dengan cara musyawarah, mufakad dan tidak ada tindakan-tindakan anarkis di lapangan," pintanya. 

Karena menurut Rudy, jika ada anarkis di lapangan, akan membuat perjuangan para petani ini sia-sia dalam melakukan upaya penegakan hukum. 

"Selama bapak-bapak ingin membicarakannya dengan cara bermusyawarah dan cara yang betul kami DPRD akan siap membantu, tapi kalo bapak-bapak anarkis di lapangan, kita pun ingin membantu tapu bingung mihak yang mana, kalo kita melihat sekilas dokumen yang ada, redistribusi tanah ini adalah milik bapak-bapak sekalian," paparnya. 

Dalam audiensi tersebut, Rudy menyimpulkan inti dari permasalahan yang dialami petani di Kecamatan Caringin tersebut. 

"Jadi intinya adalah, pertama program redistribusi tanah yang diinisiasi oleh pak Presiden RI sebenarnya baik. Para petani ada yang memiliki lahan garap hingga 1.000 meter bahkan 2.000 meter, mereka menggarap lahan dan lahan tersebut memiliki alas hak/sertifikat hak milik atas nama mereka sendiri," jelasnya lagi. 

Namun, Ironisnya, saat program redistribusi sertifikat tanah tersebut dijalankan, para petani ini tidak pernah mengetahui alas hak atas tanah yang dimiliki. 

"Akan tetapi, pada saat program tersebut dijalankan, jadi saat proses sertifikasi tanah ini sudah keluar di tanggal 19 Mei 2016, saat SHM jadi tidak pernah diberitahukan kepada penggarap, akhirnya pada tahun terakhir 21 januari 2022 penggarap dikumpulkan dan mereka taunya masih garap tanah milik pemerintah, taunya sebagai penggarap yang gak punya tanah, padahal sertifikatnya sudah keluar atas nama mereka sendiri," ujarnya. 

Tak berhenti pada pengumpulan masyarakat, para petani ini pun mengaku mendapatkan uang kerohiman atas tanah yang telah dimiliki secara pribadi tersebut. 

"Jadi masyarakat dikumpulkan, dikasih uang kerohiman seakan-akan tanah ini jangan digarap lagi, tanahnya mau dipake, padahal status tanah menurut pemerintah berdasarkan sertifikat hak milik yang dikeluarkan adalah tanah petani, tapi petani gak tau kalo itu tanah mereka karena gak pernah diinformasikan oleh pejabat pemdes, baik pemkab maupun kantor BPN sendiri," kata Rudy. 

Jadi akhirnya, lanjut Rudy, para petani merasa bahwa tanah ini bukan milik mereka pribadi. 

"Usai mendapatkan stigma tersebut, para petani pun mengaku diberikan uang kerohiman, tapi ternyata tanah tersebut diperjualbelikan lagi ke pihak tertentu, dimana sertifikat tersebut adalah mutlak namanya atas nama para petani," urainya. 

Berita Terkait
News Update