“Diperlukan “insting”, kepekaan politik dari para elite parpol dengan menggunakan mata batinnya dalam menyerap kehendak rakyat untuk mengetahui pemimpin seperti apa yang dibutuhkan.” - Harmoko
KITA mengenal istilah “sense of crisis”, ada pula ”sense of politics”. Keduanya beda makna, beda pula penafsirannya yang melatar belakanginya.
Sense of crisis tentu terkait dengan kepedulian dalam menghadapi situasi krisis (terkait ekonomi), sedangkan sense of politics, menyangkut kepekaan politik para politisi.
Keduanya saat ini kian dibutuhkan, jika itu adalah program, sepertinya perlu dikolaborasikan guna menghadapi beragam tantangan.
Masalah ekonomi tentu tak lepas dari stabilitas politik yang hingga masih terbangun terawat dengan baik, bahwa disana-sini terdapat manuver politik, seperti terbentuknya koalisi, tetapi sejatinya belum mengarah kepada situasi memanas.
Dapat dikatakan, sekarang ini stabilitas politik cukup kondusif, jika tidak disebut romantis karena partai politik sedang berupaya mencari pasangan yang cocok.
Pertemuan para ketua umum parpol satu dengan lainnya, menampilkan sebuah kemesraan dalam menjalin komunikasi politik.
Bahkan, ada yang menyebutnya turun gunung, karena majelis tinggi, yang sering disebut “king maker” sampai turun langsung menjalin silaturahmi dengan ketua parpol.
Silaturahmi politik para petinggi parpol ini, tentu bukan tanpa tujuan. Bukan sebatas membangun koalisi, tetapi negosiasi politik sedang dimainkan guna mencapai tujuan, tak hanya mengajukan pasangan capres-cawapres untuk bertarung pada 14 Februari 2024, tetapi pasca pilpres hingga pilkada serentak 27 November 2024.
Membidik pasangan calon pemimpin ke depan sedang dilakukan oleh masing-masing parpol, tentu dengan plus minusnya.
Bukan saja terhadap siapa calon paling tepat, juga kekuatan parpol menjadi pertimbangan, hanya satu parpol, PDIP, yang bisa maju sendiri tanpa dukungan parpol lain untuk mengusung pasangan calon (paslon). Selebihnya harus bergabung (koalisi).
Di saat komunikasi antar-parpol sedang kondusif, selagi calon pemimpin bangsa ke depan sedang dirumuskan, hendaknya para elite memiliki rasa, kepekaan politik atas apa yang menjadi kehendak rakyat. Ada sense of politics.
Patut diingat, politisi berhasil duduk di Senayan karena dipilih rakyat. Parpol menjadi besar karena suara rakyat.
Begitupun paslon yang diusung pada pilpres 2024, akan terpilih jika mendapat suara rakyat.
Tanpa suara pemilih, tanpa dukungan rakyat, sebagus apapun calon yang digadang-gadang, akan tumbang.
Ini makin menguji sebuah adagium bahwa tingkat elektabilitas tidak sebanding lurus dengan tingkat keterpilihan.
Disinilah perlunya “insting”, kepekaan politik dari para elite parpol dengan menggunakan mata batinnya dalam menyerap kehendak rakyat untuk mengetahui pemimpin seperti apa yang dibutuhkan.
Perlu dikemas komunikasi politik sambung rasa antara para elite dengan rakyatnya.
Komunikasi yang mampu membangun keharmonisan, membangun kebersamaan sehingga mampu menyerap denyut nadi rakyat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi”di media ini.
Kehendak rakyat hendaknya menjadi acuan dominan dalam mengambil keputusan dengan mengesampingkan syahwat politik kelompoknya, koleganya.
Ada rasa tanggung jawab kepada rakyat dengan menyerap kebenaran aspirasi yang disampaikan oleh konstituen, bukan kebenaran menurut kelompoknya.
Politik memang identik dengan cara bagaimana meraih kekuasaan, tetapi hendaknya tidak dilakukan dengan menghalalkan segala cara yang bertentangan norma dan etika sebagaimana jati diri bangsa kita yang berlandaskan kepada nilai-nilai luhur Pancasila.
Melalui komunikasi politik sambung rasa, tak hanya mampu menyerap aspirasi, juga pada akhirnya dapat menggerakkan tingkat partisipasi para pemilih menyukseskan gelaran pilpres, pileg maupun pilkada.
Bukankah kian tinggi tingkat partisipasi publik dalam pemilihan, mencerminkan adanya kemajuan demokrasi.
Sementara semakin tinggi angka golput, mencerminkan buruknya penilaian publik kepada parpol, akibat perilaku para politisi buruk dalam mencari kemenangan dan kekuasaan.
Pitutur luhur mengajarkan “Wong menang iku, sing bisa ngasorake priyanggane dhewe”- Orang yang menang itu adalah orang yang bisa melawan nafsunya sendiri.
Termasuk nafsu berkuasa dengan menghalalkan dengan segala cara.
Itulah sebabnya, sense of politics itu mengajarkan agar para politisi tetap mengemban amanah rakyat, selain tadi, ada rasa tanggung jawab untuk kemajuan bangsa mencapai cita-citanya mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial. (Azisoko)