“Reshuffle belum jaminan memperbaiki keadaan, masih banyak upaya lain. Yang dibutuhkan sekarang para elite politik perlu turun gunung mempelopori gerakan sense of crisis secara nyata, bukan sebatas retorika dan slogan belaka.” - Harmoko
MEROMBAK kabinet bukanlah hal yang baru dan tabu, bahkan sangat dibutuhkan jika hendak memperbaiki kinerja kabinetnya. Di era pemerintahannya, Presiden Jokowi sudah enam kali merombak kabinet dengan beragam alasan. Mulai dari upaya memperbaiki manajerial pemerintahan, memperkuat sinergi dan koordinasi lintas kementerian, karena adanya menteri yang terjerat korupsi hingga menyolidkan dukungan politik.
Reshuffle (perombakan kabinet) sekarang ini merupakan sebuah kebutuhan mendesak, bukan saja untuk memperkuat dukungan politik menjelang gelaran pilpres dan pileg 2024, lebih-lebih situasi ekonomi global yang penuh dengan ketidakpastian.
Kita tahu, dunia sedang menghadapi situasi sulit. Triple horor – yang disebut juga sebagai triple challenges, yakni inflasi tinggi, suku bunga tinggi dan melemahnya pertumbuhan ekonomi yang datang bersamaan, sudah terasa di depan mata. Bank Dunia dan IMF memberi sinyal perekonomian 60 negara terancam ambruk, menjadi fail states atau negara yang gagal.
Dua hal tadi, memantapkan stabilitas politik dan perekonomian nasional, menjadi alasan mendasar reshuffle kabinet saat ini dilakukan. Ini sebagai langkah antisipasi sejak dini, menghadang hantu inflasi dan krisis menerpa negeri kita.
Ini akan menguras energi bagi menteri yang ditempatkan menangani bidang ekonomi, perdagangan, pangan dan energi, mengingat krisis pangan dan energi sudah menghantui dunia. Lengah sedikit akan terjadi stagflasi yang berdampak kepada ekonomi biaya tinggi, melemahnya daya beli, merosotnya tingkat produksi nasional dan angka pengangguran yang meninggi.
Ujung-ujungnya adalah tingkat kesenjangan sosial yang kian melebar, dan semakin jauhnya rasa keadilan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sementara, terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial adalah cita – cita sejak negeri ini didirikan.
Di sinilah perlu gerak cepat seluruh jajaran Kabinet Indonesia Maju, hasil reshuffle. Tak ada waktu lagi untuk berleha-leha di belakang meja, duduk di singgasana dengan jabatan barunya yang penuh agenda acara. Tak cukup untuk beradaptasi dengan masa kerja yang kurang dari 2 tahun.
Yang dibutuhkan adalah kerja keras, kerja tangkas, kerja cerdas dan berkualitas agar segala macam masalah segera tuntas. Mulai dari soal pengendalian harga kebutuhan pokok, penyediaan stok pangan nasional serta kelancaran distribusinya. Ingat urusan minyak goreng saja hingga kini belum tuntas walaupun sudah ditangani oleh Menko Marves. Belum lagi soal kesehatan, pendidikan dan ketenagakerjaan.
Yang dibutuhkan sekarang oleh para punggawa negeri ini, siapapun dia yang duduk di kabinet, di elemen pemerintahan harus bersatu padu memiliki sense of crisis dan kemampuan solve the crisis! Bukannya terus menggalang dukungan 3 periode untuk menyelamatkan gurita bisnisnya atau juga menggerogoti pundi usaha negara untuk modal menaikkan elektabilitas kampanye 2024.
Tidak ada waktu lagi untuk menilai apakah menteri yang duduk di kabinet kapabel atau tidak kredibel. Tak cukup waktu juga untuk memperdebatkan apakah memiliki akseptabilitas, popularitas, dan berkualitas, meski itu menjadi prasyarat sebagai pejabat negeri.
Memang reshuffle adalah upaya perbaikan di tubuh pemerintahan, tetapi bukan satu- satunya jalan. Kita berharap akan menjadi baik, tetapi belum juga menjadi jaminan akan menjadi lebih baik, jika tidak cermat dan tidak tepat menggeser posisi, mengganti dan menempatkan penggantinya.
Yang diperlukan sekarang ini para elite politik harus turun gunung mempelopori gerakan sense of crisis secara nyata, bukan sebatas retorika dan slogan belaka.
Kepekaan menghadapi krisis dengan merespons secara cepat terhadap masalah yang terjadi, diikuti gerakan nyata untuk menyelesaikan problema yang sesungguhnya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dengan begitu, sense of crisis akan menyoal dua hal penting. Pertama, kepekaan untuk mendengar apa yang menjadi keluhan, keresahan dan permasalahan publik. Kedua, kewaspadaan dalam mempersiapkan strategi terbaik yang dijadikan solusi atas krisis yang bakal dihadapi.
Sebagai suatu bangsa yang pernah mengalami pahit getirnya penjajahan, sudah sepantasnya dalam diri kita senantiasa tertanam falsafah “sense of crisis” yang benar – benar dapat menyatu dalam jiwa dan nurani bangsa kita. Nilai – nilai gotong royong, saling tolong menolong, cerminan dari kepekaan dalam menghadapi krisis sebagaimana terangkum dalam falsafah bangsa kita.
Keteladanan para elite politik menularkan sikap “sense of belonging “ dan “sense of responsibility” sebagai bagian tak terpisahkan dari “sense of crisis”. Siapa pun dia, para elite hendaknya “rumangsa melu handarbeni “ - merasa ikut memiliki dan “wajib hangrungkebi “ – wajib ikut membela sesama. Jika pejabat negara tentunya harus memiliki "roso", ikut merasa menjadi rakyat dengan demikian akan membela kepentingan rakyatnya. ( Azisoko *)