MEMILIH pemimpin itu laiknya memilih calon istri. Subyektif dan personal. Kalau pun ada pertimbangan rasional, itu biasanya ditemukan setelah pilihan dijatuhkan. Dan pilihan itu sejatinya sudah jatuh sejak awal. Sejak calon pemimpin itu mulai digadang-gadang.
Salam halnya dengan Pilpres 2024. Waktu Pilpresnya memang masih lama. Masih dua tahun lagi. Tapi nama-namanya sudah beredar liar. Sudah mulai penjajakan. Ibarat pasangan pengantin, saat ini sudah mulai pacaran. Maka ketika nanti bakal capres ditetapkan, di situlah pilihan dijatuhkan. Selanjutnya, akan tetap begitu, sampai masuk bilik TPS (tempat pemungutan suara).
Tak ada seorang pun yang berhak menggugat pilihan orang lain. Pun atas pilihan saya. Juga pilihan kamu. Meski, masing-masing tahu pilihannya seperti apa.
Karena itu, kristalisasi pemilih sebenarnya sudah mulai terjadi dari sekarang. Pendukung Prabowo, pendukung Anies, pendukung Ganjar, maupun pendukung Puan Maharani.
Semua merasa, siapa yang jadi pilihannya adalah yang terbaik. Ya, terbaik bagi dirinya. Tapi belum tentu baik bagi orang lain. Karena pilihan adalah chemistry. Kata hati. Memaksa orang lain untuk sama dengan pilihan kita, sama saja memaksa Siti Nurbaya kawin dengan Datuk Maringgih. Kasihan kan?
Kalau kata hati pilih Prabowo, ya pilihlah dia. Kalau kata hati pilih Anies, ya pilihlah dia. Pun demikian dengan Ganjar, Ridwan Kamil, Airlangga, Puan Maharani, dan calon-calon lain. Tak usah ragu. Tak perlu takut.
Siapa pun yang menang nanti, ya santai sajalah. Tidak usah diambil pusing. Karena saya yakin, semua cinta NKRI. Semua punya niat sama; membangun dan memajukan Indonesia. Sangat tidak mungkin ada calon yang punya niat mengadopsi sistem khilafah. Kalau ada, saya yakin dia akan tumbang sebelum berlaga.
Kalau ada kelompok yang mengaku-ngaku sebagai pendukung Capres tertentu, lalu mereka berunjukrasa mengatasnamakan organisasi tertentu, apalagi organisasi itu telah dibubarkan oleh pemerintah, saya yakin itu pendukung jadi-jadian. Sengaja diciptakan oleh lawan. Tujuannya untuk menjatuhkan image si Capres.
Pendukung Capres siapapun, bisa datang dari mana pun. Karena dalam demokrasi, semua orang punya hak suara yang sama. One man, one vote. Apakah dia penjahat ataupun pejabat, dia orang kere ataupun parlente, dia tokoh atau orang bodoh, semua punya hak untuk mendukung Capres.
Di era demokrasi dan keterbukaan saat ini, cara-cara seperti itu jauh dari kata elegan. Lebih pas dicap sebagai cara katrok atau kampungan. Cara-cara seperti itu harus segera ditinggalkan. (gusmif)