Ingat popularitas dan elektabilitas bisa didongkrak, tetapi kualitas dan integritas moral tidak bisa begitu saja dipoles karena menyatu dalam diri pada seorang tokoh yang memang mumpuni. Di sinilah parpol melalui kadernya di akar rumput perlu menyerap denyut nadi masyarakat, capres seperti apa yang diharapkan.
Pemimpin bagaimana yang dibutuhkan saat sekarang dan mendatang, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini. Sah – sah saja dengan jargon demi rakyat, para elite politik saling memetakan, melobi untuk bisa koalisi supaya bisa saling melawan dan mengalahkan demi kekuasaan. Dengan harapan, kekuasaan nantinya untuk rakyat, bukan dirinya, kelompoknya, koleganya, termasuk tim suksesnya.
Jangan sampai, selalu terdengar perjuangan untuk rakyat, pembangunan buat rakyat, kesejahteraan, kemakmuran dan lainnya semua untuk rakyat. Tapi lain yang dikata, lain yang nyata.
Jangan sampai pula para politisi berkoalisi membangun kekuatan memenangkan pertarungan, tapi rakyat terabaikan, dibiarkan menanti tak pernah menikmati. Kesejahteraan hanya melintas di depan mata tak pernah dirasakan apalagi dinikmati, semoga semua ini tidak akan terjadi lagi.
Itulah perlunya sikap hati – hati, cerdas dan cermat berkoalisi mengusung capres pilihan rakyat. Pitutur luhur mengajarkan, “ Ojo kesusu, ojo grusa – grusu, ojo melu – melu”- Jangan tergesa – gesa, jangan gegabah dan jangan ikut – ikutan.
Tergesa - gesa akan membawa dampak buruk dan menimbulkan penyesalan. Gegabah akan dapat mendatangkan kekeliruan. Sedangkan ikut-ikutan akan mendatangkan kerugian dan kekecewaan. Mengingat sikap “melu- melu” menandakan tidak memiliki prinsip yang jelas dan tegas. Tidak memiliki karakter bagaimana membangun negeri tercinta sebagaimana jati diri bangsa. (Azisoko*)