Oleh: Joko Lestari, Wartawan Poskota
DAPAT diprediksi arus mudik tahun ini yang terbesar dan terpadat, setelah dua tahun lamanya masyarakat menahan diri mudik lebaran akibat pandemi Covid-19. Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik tahun ini mencapai 85,5 juta orang. Sekitar 14,3 juta di antaranya pemudik asal Jabodetabek.
Ini jumlah terbesar dibandingkan tahun sebelumnya , termasuk tahun 2019, sebelum pandemi, yang berjumlah 18, 3 juta orang.
Peningkatan jumlah pemudik, boleh jadi karena tadi, masyarakat sudah 2 tahun menahan diri untuk mudik lebaran sebagaimana imbauan pemerintah dalam rangka mencegah kian mewabahnya virus corona dan varian barunya.
Mudik di Indonesia sudah menjadi fenomena budaya. Lepas adanya penilaian mudik juga gambaran lain adanya pesta tahunan bersifat konsumtif, tetapi disisi lain, banyak dampak positif yang dirasakan masyarakat.
Melalui mudik telah menciptakan kegiatan ekonomi ekstra karena adanya permintaan efektif (effective demand), terutama sektor transportasi, produksi, perdagangan barang atau jasa, serta aktivitas di bidang pariwisata.
Tidak bisa dipungkiri pula bahwa perjalanan mudik berarti pula pengalihan perputaran uang dari kota - kota besar ke kawasan pedesaan.
Jika satu pemudik berbekal Rp 1 juta, maka sudah Rp85,5 triliun uang beredar di pedesaan. Jika acuannya per keluarga, sebuat saja 1 keluarga 5 orang, maka dari 85,5 juta pemudik, terdapat 17,1 juta kepala keluarga. Kalau setiap KK rata- rata membawa bekal minimal Rp5 juta, sudah berapa triliun tuh uang yang ditebar ke desa. Nilainya semakin tinggi, jika kian banyak bekal uang yang dibawa.
Kalau saja sebagian dikelola untuk membangun kampung halamannya, tentu manfaatnya makin bertambah. Selain menjalin silaturahmi, juga membangun desanya.
Setidaknya ada tiga pola yang sekiranya bisa dimanfaatkan untuk mengelola uang yang dibawa pemudik.
Pertama, melalui jalur paguyuban. Lazimnya mereka yang merantau ke kota sering menjalin komunikasi dalam bentuk forum komunikasi atau paguyuban warga asal daerah (berasas ikatan geografis). Bahkan, dalam dunia digital sekarang ini, munculnya grup – grup melalui WAG, sehingga makin memudahkan pejabat setempat menitipkan pesan agar anggota paguyuban ikut peduli membangun desanya.
Kepedulian membangun desa dapat dialokasikan untuk meningkatkan fasilitas pendidikan, beasiswa, sarana dan prasarana desa. Tapi, bantuan tidak harus materi, bisa juga pemikiran dan konsep untuk mengatasi persoalan yang terjadi di desanya.
Kedua, melalui wadah koperasi. Kepala desa atau pejabat setempat bisa membentuk koperasi yang mengelola produk barang dan jasa. Para perantau bisa memberikan bantuan modal, pengetahuan atau jalur distribusi dan pemasaran terhadap produk unggulan.
Ketiga, ada semacam kewajiban untuk membeli produk unggulan di desanya sebagai bagian dari promosi desanya. Tak hanya saat mudik , tetapi secara rutin sebagai bagian dari upaya meningkatkan pendapat masyarakat desanya.
Masih banyak cara lainnya bagaimana mengelola mengelola uang pemudik untuk membangun desanya, sepanjang ada kemauan. Yah, perlu kemauan yang didasari niat tulus, tanpa pamrih. (jokles)