ADVERTISEMENT

RA Kartini dan UU TPKS

Kamis, 21 April 2022 07:18 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Kehadiran negara melindungi perempuan menjadi penting, mengingat tinggi rendahnya tingkat kemajuan suatu bangsa ikut ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat dan kedudukan wanita dalam masyarakat - Harmoko

BOLEH jadi, RA Kartini akan berurai air mata, terenyuh menyaksikan masih banyaknya anak-anak perempuan Indonesia dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial alias PSK. Anak perempuan remaja yang semestinya duduk di bangku sekolah, tetapi berada dalam ruang kaca akuarium kehidupan malam melayani hidung belang karena sebuah keadaan. Karena ketidakberdayaan akibat keterbatasan sosial ekonomi keluarganya.

Mungkin saja, RA Kartini akan menulis surat berjudul “Sisi gelap bumi pertiwi. Tragedi perbudakan seksual” untuk melengkapi suratnya terdahulu “Habis gelap terbitlah terang”.

Kartini adalah wanita yang sangat peduli terhadap kaumnya. Perempuan yang dilahirkan 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah ini, merupakan Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Dia pejuang wanita dan wanita pejuang. Tak hanya memperjuangkan kesetaraan, juga meningkatkan kualitas perempuan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan.

RA Kartini ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya menjadi “konco wingking”, tetapi mampu berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kini, kesetaraan tidak lagi menjadi problema. Pemerintah dan swasta telah membuka akses seluas mungkin, memberi kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam berkarya, berkreasi, dan berinovasi dalam semua bidang. Kesetaraan gender tak perlu diperdebatkan lagi. Tak ada lagi halangan perempuan menjadi jenderal, menjadi pilot pesawat tempur, antariksawan, dan profesi lainnya yang sebelumnya hanya dikerjakan oleh laki-laki.

Yang mencuat kemudian adalah sisi buruk dari perkembangan peradaban manusia itu sendiri, di mana perempuan acap menjadi korban. Perbudakan seksual seperti disebutkan di awal tulisan ini bagian dari sisi buruk yang wajib ditangani bersama.

Jika ditelusuri penyebab perbudakan seksual dan prostitusi paksa itu, cukup beragam. Di antaranya faktor ekonomi keluarga, kemiskinan dan keterlantaran menyebabkan keterbatasan dalam mengenyam pendidikan di desa-kampungnya. Itulah sebabnya prostitusi paksa, para korbannya umumnya remaja perempuan desa yang hendak menggapai mimpi di kota.

Data menyebutkan kasus kekerasan terhadap perempuan sering disebut Kekerasan Berbasis Gender (KBD) dalam sepuluh tahun terakhir ini meningkat. Pada 2012, laporan kekerasan terhadap perempuan masih berjumlah 135.170 kasus. Kemudian jumlahnya terus meningkat hingga mencapai 204.794 kasus pada 2015. Bahkan, pada tahun 2021 meningkat tajam dari sebelumnya dengan angka kenaikan sekitar 50 persen, dari sebelumnya 226.062  menjadi 338.496 kasus. 

Kekerasan seksual dengan beragam jenisnya termasuk yang ikut mewarnai KBD. Setidaknya terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang belakangan sering dialami perempuan Indonesia, di antaranya perkosaan, intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi.

Halaman

ADVERTISEMENT

Berita Terkait
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu
2 tahun yang lalu

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT