Dalam hakekat perjuangan itu, maka tugas utama pemimpin adalah memberdayakan rakyat. Pemimpin menangkap agregasi kepentingan dan harapan rakyat, dan disitulah pemimpin berjuang. Perjuangan dengan model seperti ini dipastikan memiliki kemurnian cita-cita. Cara perjuangannya pun akan progresif, membawa kemajuan, namun juga revolusioner, merombak struktur dengan membongkar ketertindasan.
Sebab perubahan sistem politik kolonial, budaya kolonial yang membodohkan rakyat, hingga sistem ekonomi yang menghisap harus dilakukan dengan cara revolusioner bagi hadirnya sistem kehidupan baru dalam alam kemerdekaan.
Dengan demikian, dari asal-usulnya, dari hakekatnya, watak politik Indonesia itu adalah politik pemberdayaan. Politik pemberdayaan hanya bisa dipahami dari bawah, berbeda dengan politik mobilisasi. Ketika perwakilan para kepala desa dihadirkan oleh tangan-tangan pejabat negara yang begitu getol memperjuangkan wacana penundaan pemilu, maka itu adalah praktik politik mobilisasi.
Berbeda dengan politik pemberdayaan yang berasal dari harapan, mimpi, dan perasan perasaan rakyat, maka politik mobilisasi berasal dari benak pemimpin. Politik mobilisasi itu elitis yang diupayakan legitimasinya agar terkesan rakyatlah yang bergerak. Pertanyaan kritisnya, apakah yang disuarakan dalam politik mobilisasi benar-benar cermin kehendak rakyat, atau justru kehendak pemimpin yang dengan kekuasannya mampu menutupi segala kepentingannya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut sangatlah sederhana. Politik mobilisasi adalah politik kehendak dari atas. Ataslah yang mengalirkan segala sarana dan prasarana yang memungkinkan terjadinya mobilisasi. Ataslah yang punya kuasa hingga mengalirkan suatu perintah baik secara langsung melalui jejaring politiknya, ataupun terselubung sebagaimana sering terjadi dalam politik mobilisasi.
Politik mobilisasi adalah politik skenario kepentingan. Berbagai orkestrasi tentang wacana penundaan pemilu adalah politik mobilisasi. Karena ia lahir dari skenario, maka kemampuan sang sutradara menjadi penentu keberhasilan politik mobilisasi.
Namun politik tidak bekerja di dalam ruang hampa. Realitas inilah yang sering mematahkan skenario sutradara. Di dalam politik nyata, begitu banyak varian yang bekerja.
Di sini banyak yang tidak menyadari, bagaimana resultan antar varian itu sering menciptakan “Faktor X”; suatu faktor hasil proses dialektis yang seringkali tidak diprediksi dan tidak bisa diramalkan dengan teori probabilitas paling canggih sekalipun. Dalam dialektika itu ada aksi-reaksi. Aksi-reaksi ini arah vektornya banyak.
Dalam situasi ketika peri kehidupan rakyat sedang dihadapkan pada persoalan pandemi, dipicu oleh berbagai kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat, serta ketidakpastian dunia internasional akibat perang Rusia-Ukraina, maka terjadilah ketidakpastian, ketidakstabilan sistem, terlebih dengan berbagai manipulasi informasi atau rekayasa kepentingan. Dampaknya, ketidakseimbangan antara permintaan dan persediaan bisa diciptakan.
Hal inilah yang terjadi dengan kelangkaan minyak goreng. Logika sederhana kelangkaan itu tidak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin Indonesia yang menjadi produsen CPO terbesar di dunia, bisa mengalami kelangkaan minyak goreng yang beredar di pasar, yang secara otomatis memicu lonjakan harga?
Di tengah ketimpangan produksi dan distribusi itulah politik mobilisasi bekerja. Bukannya menyelesaikan masalah pokok rakyat, politik mobilisasi secara mengejutkan hadir tanpa melihat realitas apa yang sebenarnya terjadi. Faktor X itulah yang kemudian tercipta menjadi arus balik. Berbagai vektor yang sebelumnya banyak arah, dengan kesalahan praktik politik mobilisasi, terkondisi menjadi satu arah penolakan.
Apapun motifnya, politik mobilisasi tidak mengakar. Politik mobilisasi begitu mudah dipatahkan oleh politik pemberdayaan yang hidup karena kekuatan arus bawah. Dalam situasi seperti itulah, sebelum kebakaran politik terjadi, sikap Megawati Soekarnoputri, PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi secara tegas dinyatakan untuk menghentikan politik mobilisasi. Ketegasan Presiden Jokowi yang melarang para pembantunya untuk berbicara tentang penundaan pemilu harus menjadi akhir dari drama politik mobilisasi.
Politik mobilisasi muncul dari elit. Elit ini dipersempit lagi terhadap mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dalam politik kenegaraan, apa yang disampaikan seorang pemimpin sebenarnya cukuplah satu kali. Sebab moralitas sederhana bagi seorang pemimpin adalah satunya kata dan perbuatan. Ketika ketegasan pemimpin sudah disampaikan dengan gamblang dalam ungkapan: “menampar muka saya, mencari muka, dan menjerumuskan saya”, namun dalam praktek elit kekuasaan masih saja ada yang memainkan, maka tindakan tegas bisa menjadi pilihan paling rasional yang seharusnya diambil pemimpin.