Ada sebuah studi menyebutkan, bahwa di Twitter itu hoaks menyebar enam kali lebih cepat dari klarifikasinya.
Studi lainnya mengungkap bahwa kebiasaan orang buka YouTube mencari sumber informasi sesuai seleranya.
Sebab pembentukan opini publik lebih didominasi faktor emosi dan keyakinan pribadi, bukan oleh fakta-fakta obyektif.
Maka itu masyarakat harus cermat dan mampu menyaring informasi secara kritis.
"Jadi lah pemeriksa fakta setidaknya untuk diri sendiri. Karena kemampuan berpikir kritis dan pemeriksa fakta semakin ke sini semakin penting," pesan Ariwibowo.
Narasumber lain dalam kegiatan tersebut, Redaktur Kantor Berita Politik Republik Merdeka Online (RMOL.ID) Angga Ulung Tranggana, menyatakan, produk pers dalam membuat kontennya tidak sama dengan media sosial.
Karena dalam konteks membuat berita itu mengacu pada kode etik jurnalistik.
"Dari setiap produk berita yang kita buat mengacu pada kode etik jurnalistik. Artinya kita sebagai seorang jurnalis tata kerjanya diikat oleh kode etik jurnalistik dan Undang Undang Pers," kata Angga.
Ia menyadari keberadaan media massa online cukup banyak berseliweran di media sosial.
Para pengguna media sosial kerap kali tidak melakulan pemeriksaan saat membaca suatu portal berita.
Padahal itu sangat penting untuk memastikan beritanya tidak hoaks.
"Ini (pemeriksaan) penting untuk memastikan bahwa informasi benar. Hoaks atau tidak. Dipastikan dulu medianya kredibel atau tidak. Terdaftar di dewan pers atau ngga," ujar Angga.