Para elite perlu konsisten dalam bersikap. Perlu teguh pendirian dalam niat, ucapan dan perbuatan untuk mencegah timbulnya keraguan, kebingungan dan kegaduhan, – Harmoko
IBARAT panggung teater atau sinetron, tampilan panggung depan dan belakang akan berbeda. Di depan penuh dengan panorama, pesona dan memiliki daya pikat luar biasa, tetapi panggung belakang adalah keadaan sesungguhnya. Di situlah para pemain (aktor) tampil dengan karakter aslinya. Itu pula, gambaran panggung politik pada umumnya, termasuk di negeri kita dan para aktornya.
Apa yang dikatakan kepada publik, belum tentu sebagaimana isi hati yang sesungguhnya, bisa jadi sebatas pencitraan, lip service, menggalang dukungan, atau upaya meraih atau mempertahankan kekuasaan.
Tak jarang seorang politikus, pejabat publik berteriak keras soal pemberantasan korupsi, tetapi suatu saat tertangkap tangan KPK karena terlibat korupsi.
Tak sedikit para elite sering tampil di panggung publik mengajak masyarakat mematuhi hukum, tetapi suatu hari yang bersangkutan melanggar hukum.
Fakta juga pejabat publik berbicara patuh dan taat konstitusi, tetapi menggalang dukungan untuk mengubah konstitusi demi ambisi kekuasaan, meski bertolak belakang dengan keadaan, konstitusi saat ini yang sedang dijalani.
Paling aktual adalah munculnya dukungan masa jabatan presiden 3 periode yang sekarang sedang viral. Penggalangan dukungan semakin nyata, bukan sebatas isu belaka, tidak lagi tersembunyi-sembunyi.
Road show untuk menggalang dukungan pun sudah terpublikasikan secara luas. Ini sah-sah saja. Siapapun, menteri, politisi, parpol boleh mengusulkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, karena kita negara demokrasi.
Ya demokrasi yang menjadikan alasan, siapa pun mempunyai hak untuk mengusulkan pendapat, termasuk dalam proses ketatanegaraan. Hanya saja, pada usulan yang dapat dijalankan setelah mengamandemen undang-undang negara, sekiranya perlu dikaji secara saksama.
Apakah usulan tersebut demi kepentingan bangsa dan negara, rakyat Indonesia guna mewujudkan cita-citanya, rakyat yang adil makmur, atau demi ambisi sekelompok orang yang ingin mempertahankan kekuasaan, baik di pemerintahan maupun di kerajaan bisnisnya.
Jika penggalangan dukungan terus dilanjutkan, tanpa mempertimbangkan kehendak rakyat, yang terjadi adalah benturan kepentingan. Sudah terlihat, dua kubu saling berhadapan. Sekarang masih dalam taraf beda dukungan, setuju dan tidak setuju dengan sejumlah argumentasinya. Jika ini tidak terkondisi dengan baik, bisa berakibat kepada benturan yang lebih keras dan mengkristal, yang bisa menjadi embrio perpecahan. Belum lagi ketika keadaan ekonomi yang berat akibat naiknya semua harga-harga membuat rakyat menjadi mudah tersulut emosinya.
Ingat “crah agawe bubrah”- perpecahan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah, berantakan tak beraturan.Jika kondisinya demikian, dapat dikatakan perjuangan demokrasi, tetapi menghasilkan situasi yang tidak demokrasi.
Akankah itu yang hendak dicapai? Jawabnya tentu saja, tidak.
Menjadi tugas para elite negeri ini, menteri dan politisi, pimpinan parpol untuk mengekang diri, kalau tidak disebut menghentikan, gerakan menggalang dukungan presiden 3 periode. Lebih- lebih presiden yang bersangkutan telah jelas – jelas menolaknya karena taat kepada konstitusi.
Diharapkan para menteri dan pimpinan parpol lebih fokus kepada derita rakyat seperti soal kesehatan, kenaikan harga, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, ketidakadilan, membengkaknya utang negara serta kemandirian bangsa yang kian tergerus. Tak hanya bidang ekonomi, juga politik dan keamanan.
Siapa yang mampu menghentikan? Jawabnya yang memiliki kewenangan memecat para menteri dan elite yang melakukan penggalangan dukungan.
Jika dibiarkan, makin menguatnya dua kubu yang saling berlawanan. Ini tidak sehat, jauh dari nilai-nilai luhur falsafah bangsa, Pancasila.
Perseteruan dua kubu dukungan pilpres 2019, hingga kini belum sepenuhnya sirna. Haruskah muncul dua kubu baru yang kian panjang menghadang kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Diperlukan konsistensi dari para elit untuk senantiasa merawat dan menjalankan konstitusi negara, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Konsisten, berarti teguh pendirian, tidak mencla-mencle, plin-plan. Esuk tempe sore dele – pagi bilang tempe, sore bilangnya kedelai. Sikap demikian, bagi pejabat publik dan elite,dapat menurunkan tingkat kepercayaan rakyat, juga merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Martabat dan harga diri seorang pejabat,terletak kepada sejauh mana ia jujur dan konsisten dalam bersikap.
Sikap tidak konsisten, juga akan menimbulkan keraguan dan kebingungan masyarakat, yang pada gilirannya munculnya kegaduhan.
Mari perkuat jati diri konsisten dalam niat, ucapan, dan perbuatan. Kalaupun menggalang dukungan untuk menebar kebaikan, bukan kegaduhan. (Azisoko*)