Tahun Tidak Fokus

Minggu 13 Mar 2022, 07:00 WIB

JUMAT, 11 Maret 2022, sore hari saya menyusuri jalan Ciledug Raya (Tangerang dan Jakarta Selatan), Kebayoran Lama, Kebayoran Baru dan Jalan Pejompongan dan kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat.

Jalan-jalan raya di kawasan ini cukup padat kendaraan bermotor. Di trotoar-trotoar atau tepi jalan raya banyak kerumunan orang duduk di warung-warung “kaget”. Orang yang tidak pakai masker sudah tidak terhitung. Jaga jarak sudah tidak berlaku lagi. Bahaya covid-19 terasa sudah tidak diindahkan.

Saya singgah di Jalan Hang Lekir, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di tempat ini secara rutin kelompok pengkajian strategis HL 717 berkumpul dan berdiskusi. Di tempat ini saya membaca tulisan wartawan Bung Harmoko (almarhum) berjudul “Tahun Tidak Fokus” (26 Desember 2013).

Almarhum Bung Harmoko yang pernah jadi menteri penerangan, Ketua Umum Golkar dan Ketua MPR/DPR  mengatakan dalam artikelnya. “Menyongsong tahun 2014 cukup pelik”. Ia melukiskan situasi para petugas pemerintahan dan partai politik sudah tidak konsentrasi pada tugas di bidangnya. Banyak di antara mereka nampak lebih melakukan kegiatan atau bicara soal pemilihan presiden tahun 2014. Tidak fokus lagi.

Kabinet atau pemerintah cukup menyakiti rakyat di bidang ekonomi. Kata Bung Harmoko waktu itu. Hal yang menyakitkan, katanya, naiknya harga kedelai, bawang merah dan daging sapi yang nyaris menjadi tragedi nasional.

 

Ilustrasi kisruh minyak goreng. (ilustrator: poskota/ucha)

Di Jalan Hang Lekir itu, Jumat 11 Maret 2022, beberapa orang dari kelompok HL 717 juga bicara soal kelangkaan harga bahan pokok saat ini dan tentu juga para tokoh yang akan jadi calon presiden untuk Pilpres 2024 nanti. Dibahas di sini para menteri dan pejabat yang tidak fokus lagi atas kerja di bidangnya. Mereka lebih suka bicara tentang penundaan pilpres atau presiden boleh menjabat tiga periode.

Kemudian karena suatu alasan saya pindah tempat di warung kopi pinggir jalan di kawasan Kebon Kacang,  antara Grand Indonsia dan Plaza Indonesia. Suasana di situ malam itu meriah sekali. Di sebuah warung terjadi perdebatan “panas”. Bahan pembicaraan adalah soal masa jabatan presiden diperpanjang, bisa dipilih untuk ketiga-kalinya dan soal kelangkaan “minyak goreng”.

Di tengah debat di warung itu, seorang pemuda (nampaknya aktivis LSM) bicara lantang. “Di saat bahan pokok pangan langka, ada menteri bicara ngotot soal perpanjangan masa jabatan presiden. Itu bukan hanya menandai tahun ini sebagai tahun tidak fokus, tapi tahun sakit jiwa.........wacana menkitwa, ” demikian ucapnya dengan kalimat cukup teratur walau diucapkan spontan.

Saya tanya pada pemuda itu arti dari “menkitwa”. Dengan suara lirih dia menjawab, “artinya menteri sakit jiwa”. Saya tanya lagi apakah menteri seperti itu perlu diganti ? “Tidak perlu, ini sebuah keistimewaan sejarah,” ujarnya lagi. Huahahahahaha. (ciamik)

News Update