ISRAEL, POSKOTA.CO.ID - Undang-undang sementara yang berlaku sejak 2003 diperbarui Parlemen Israel.
Undang-undang ini melarang pemberian status kewarganegaraan atau kependudukan permanen secara otomatis kepada warga Palestina asal Tepi Barat dan Gaza yang kawin dengan orang Israel.
Israel mengatakan undang-undang yang pertama kali diberlakukan selama pemberontakan Palestina ini diperlukan untuk keamanan.
Para kritikus memandang ini sebagai tindakan rasis untuk mempertahankan mayoritas Yahudi di negara itu.
Undang-undang tersebut ditujukan kepada warga Palestina dan tidak berlaku bagi para pemukim Yahudi di Tepi Barat mengingat mereka sudah memiliki kewarganegaraan Israel.
Parlemen Israel atau Knesset, gagal mengesahkan undang-undang itu musim panas lalu karena tidak mendapat dukungan dari para anggota koalisi pemerintahan yang berhaluan kiri dan Arab.
Partai oposisi yang dipimpin mantan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebetulnya mendukung undang-undang tersebut. Tetapi menolak untuk memberikan persetujuan untuk mempermalukan pemerintah.
Namun Menteri Dalam Negeri Ayelet Shaked seorang nasionalis yang gigih. Dia bersikeras mengkampanyekan pembaruan undang-undang itu. Dia dan sejumlah pejabat lainnya bahkan telah mengakui bahwa undang-undang itu sebagian bertujuan untuk melestarikan mayoritas Yahudi Israel.
Undang-undang itu disahkan Kamis malam (10/3/2022) dengan bantuan dari partai oposisi tetapi tanpa dukungan partai berhaluan kiri dan Arab.
Ayelet Shaked melalui Twitter menyatakan bahwa pengesahan undang-undang itu adalah kemenangan bagi negara Yahudi dan demokratis dan kekalahan bagi negara untuk semua warga.
Frasa terakhir ini sering digunakan kelompok minoritas Arab Israel untuk merujuk pada aspirasi mereka untuk mewujudkan kesetaraan.
Ayman Odeh, anggota parlemen Arab, menggunggah kembali pernyataan Ayelet Shaked dan menyebutnya sebagai kemenangan bagi “negara apartheid''.
Undang-undang tersebut terutama mempengaruhi kelompok minoritas Arab.
Sebanyak 20 persen dari populasi Israel yang berjumlah 9,5 juta merupakan orang Arab dan memiliki ikatan keluarga dekat dengan orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
Mereka memiliki kewarganegaraan, termasuk hak untuk memilih, dan telah memperoleh penerimaan dan pengaruh di sejumlah bidang tetapi masih menghadapi diskriminasi yang luas. ***