JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat terorisme dari Amerika dan juga Penasehat senior Institute for Policy Analisys of Conflict (IPAC) Sidney Jones menegaskan perlunya penegakan hukum terhadap kelompok radikal yang mengarah kepada ancaman kekerasan.
Menurut Sidney, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme adalah tantangan nyata yang tengah dihadapi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Namun demikian Sidney Jones juga mengingatkan perlunya negara memperjelas definisi radikalisme agar tidak gampang disematkan kepada orang atau kelompok yang berbeda secara ideologi maupun politik.
"Kalau ada orang yang mengadvokasi negara Islam di Indonesia, tapi secara damai, apakah itu radikalisme karena isi yang didorong atau didukung? Atau kalau ada yg mengadvokasi untuk balik ke piagam Jakarta, apakah itu radikal atau ekspresi politik tapi sesuatu yang harus dibiarkan dalam satu pemerintah demokrasi asal damai? Ini tentu harus diperjelas definisi radikalisme," kata Sidney Jones.
Ia mengatakan itu dalam Seminar Nasional bertema, "Tantangan dan Strategi Kontra Radikalisme di Indonesia" yang digelar di Kampus Paramadina, Jakarta Selatan, Sabtu (12/3/2022).
Menurutnya, perbedaan cara pandang, selama tidak ada pemaksaan dan ancaman kekerasan merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh Undang-Undang.
"Kalau advokasi tanpa memaksa semestinya diperbolehkan. Karena dengan kebebasan berekspresi seperti yang dilindungi oleh UUD 45 seharusnya bebas mengajukan opini," ujarnya.
Tetapi, lanjut Sidney, berbeda ketika yang disampaikan adalah hasutan atau ujaran kebencian yang mengarah pada kekerasan.
Menurutnya, hal itu harus ditindak secara hukum karena bukan lagi bagian dari kebebasan berekspresi, melainkan sebuah kejahatan karena telah memprovokasi orang untuk melakukan kekerasan.
Sidney kemudian merujuk pada contoh kasus yang terjadi pada 2008 silam, ketika salah satu petinggi Front Pembela Islam (FPI) menyerukan jamaahnya untuk membunuh kelompok Ahmadiyah. Menurutnya, penegak hukum saat itu seharusnya langsung bergerak menangkap.
"Saya masih ingat pada tahun 2008 waktu seorang dari FPI berceramah pada malam hari di pesantren pada waktu emosi terhadap Ahmadiyah sangat tinggi dan di depan orang-orang itu (jamaah), laki-laki semua, dia bilang, Bunuh Ahmadiyah, Bunuh Ahmadiyah, Bunuh Ahmadiyah," kata Sinedy.
"Dan begitu emosi itu tinggi, bisa saja orang keluar dari ceramah pada saat itu dan mulai bikin kekerasan terhadap orang yang mereka tidak senangi," ungkapnya.
"So, menurut saya, itu bisa bersifat penghasutan dan seharusnya saat itu ditangkap," imbuhnya.
Sementara itu, Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Sunaryo menyoroti fenomena konservatisme agama di Indonesia yang perlu diwaspadai.
Menurutnya konservatisme yang berkembang di Indonesia cenderung membuat masyarakat anti terhadap perbedaan.
Ia pun meminta negara untuk membuat kebijakan terukur agar kelompok konservatif tidak semakin membesar.
"Hal tersebut yang dihighlight oleh Cak Nur, kecenderungan seseorang yang belajar agama semakin anti terhadap orang yang berbeda. Hal tersebut menurut saya harus diwaspadai," ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Herdi Sahrasad. Ia berpendapat radikalisme tumbuh di kalangan anak muda yang kemudian teralienasi oleh modernitas yang kemudian memperoleh ceramah dari penceramah konservatif dan radikal.
"Di Indonesia kita melihat munculnya kelompok-kelompok pengajian eksklusif yang tidak ingin bersosialisasi dengen tetangga kemudian mendapatkan penetrasi atau ajaran radikal dari ulama garis keras yang eksklusif," katanya. (Adji).