JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai pemerintah inkonsisten menetapkan rumus harga jual migas nasional. Saat harga minyak dunia anjlok ke titik terendah, pemerintah tidak menurunkan harga jual.
Sementara di saat sekarang harga jual melonjak dampak perang Rusia-Ukraina, kata Mulyanto, pemerintah buru-buru menaikan harga jual migas kepada masyarakat.
“Kasihan masyarakat harus menanggung beban kenaikan harga LPG non-subsidi berturut-turut dalam tiga bulan terakhir, kemudian harga BBM non-subsidi 2 Maret 2022. Pemerintah bukannya membantu meringankan beban masyarakat malah menambah berat," kata Mulyanto dalam keterangan tertulis, Jumat (4/3/20222).
Mulyanto menyebut kebijakan pemerintah ini inkonsisten, latah dan sekedar jalan pintas melimpahkan beban kepada masyarakat. Padahal pandemi CO VID-19 belum usai, Omicron masih tinggi dan kemampuan ekonomi masyarakat masih tertatih-tatih.
Karena itu Mulyanto mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan yang memberatkan masyarakat tersebut. Beban ini harus ditanggung oleh Pemerintah dan BUMN. Jangan hanya dipikul oleh masyarakat. Negara harus hadir dalam masalah ini.
Menurut Mulyanto, harga-harga energi domestik ini tidak mesti naik. Karena kenaikan defisit transaksi berjalan sektor migas sebenarnya dapat dikompensasi dari penerimaan ekspor komoditas energi lain. Pemerintah bisa memaksimalkan pendapatan dari ekspor batu bara, gas alam dan CPO yang harganya melejit.
Sebagai contoh, penerimaan negara dari ekspor batubara dan CPO pada tahun 2021 sebesar USD 56 milyar. Sementara defisit transaksi berjalan sektor migas, karena impor BBM dan LPG, pada tahun 2021 hanya sebesar USD 13 milyar. Karenanya, kenaikan penerimaan ekspor batubara dan CPO mestinya dapat mengkompensasi kenaikan defisit transaksi dari impor migas.
Jadi, menurut Mulyanto, melonjaknya harga energi dunia, tidak otomatis harus diikuti dengan kebijakan kenaikan harga BBM dan LPG domestik.(*)