Dinilai Sebagai Upaya Resentralisasi Kekuasaan Politik, Pemerintah Didesak Perhatikan Revisi Kedua UU Otsus Papua

Rabu 23 Feb 2022, 20:44 WIB
Diskusi Tentang Otsus Papua yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute (PVRI) secara virtual. (ist)

Diskusi Tentang Otsus Papua yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute (PVRI) secara virtual. (ist)

"Amanat lainnya, termasuk pembentukan lembaga komisi kebenaran dan rekonsiliasi guna membina perdamaian pasca kekerasan di Papua, diingkari pula oleh negara," jelasnya.

Senada dengan penyampaian Yoel, Usman Hamid meresonansi kekecewaan yang disampaikan oleh Yoel Luiz Mulait dan Minggus Madai, Usman memandang bahwa UU No. 2/2021 luput dari perspektif hak-hak OAP sebab tidak dirumuskan melalui partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat secara bermakna.

"Dengan tidak melibatkan MRP dalam proses penyusunannya, negara dianggap tidak merekognisi kedudukan MRP sebagai representasi kultural OAP, sebagaimana diamanatkan pada UU No. 21/2001," kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia. 

Usman mendesak agar pemerintah menunda proses-proses pemekaran di provinsi Papua dan fokus untuk mendorong pembentukan pengadilan HAM, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, serta komnas HAM bagi Papua.

"Kami berharap bahwa proses pemekaran provinsi yang direncanakan atas Papua, setidaknya dapat ditunda sambil menunggu putusan MK agar kita dapat melihat apakah hak-hak kekhususan bagi Papua benar-benar dilindungi oleh negara," tambahnya.

Perwakilan Pokja Masyarakat Adat MRP Minggus Madai menyoroti bagaimana negara tidak memberikan cukup ruang bagi evaluasi dan aspirasi masyarakat asli Papua terhadap UU tersebut.

Menurut Minggus, situasi juga kian diperburuk dengan tawaran pemekaran provinsi Papua yang sulit diterima ketika syarat-syarat pembentukan provinsi baru, bahkan tidak bisa terpenuhi apabila rencana pemekaran tetap dijalankan.

"Infrastruktur dan pelayanan dasar di berbagai daerah di pelosok Papua belum memadai dan belum dapat menunjang kemandirian provinsi-provinsi baru. Ditambah lagi persoalan kesejahteraan masyarakat Papua yang terus terpinggirkan dengan kedok proyek-proyek pembangunan negara," papar Minggus dalam kesempatan tersebut.

Sementara itu, Miya Irawati berpendapat jika rencana pemekaran wilayah yang ada di Papua justru menggambarkan upaya untuk pemenuhan kepentingan politik negara di Papua dalam perspektif yang Jakarta sentris, dan pemisahan kekuatan politik masyarakat akar rumput. 

"Pendekatan negara di Papua yang selalu mengedepankan paradigma keamanan telah menguatkan potensi pemekaran wilayah ini yang kelak akan berimbas pada penambahan kekuatan baru dan berdampak pada distribusi pasukan keamanan yang semakin masif di pelosok Papua," jelasnya.

Miya juga meminta negara agar situasi di Papua perlu benar-benar diperhatikan dengan mewajibkan pemerintah berdialog dengan masyarakat OAP dan mendengarkan suara OAP di setiap langkahnya. (ird)

Berita Terkait

News Update