Dari sejumlah literatur menyebutkan “Semar Mbangun Kahyangan” itu bukan berarti membangun negara baru, bukan membangun kerajaan baru, bukan pula membangun istana baru yang megah.
Semar sebagai simbol rakyat menghendaki para pemimpin membangun jiwanya. Hanya, kadang penguasa salah menafsirkan kehendak rakyat sebagai obyek yang tidak paham. Semar sebagai punakawan, rakyat jelata tidak perlu ikut campur urusan kenegaraan.
Padahal Semar sebagai rakyat yang merasakan langsung dan memiliki penglihatan “linuwih” merasa perlu mengingatkan pemimpinnya agar tidak ternina bobokan oleh kekuasaan sehingga menjadi lalai dengan kepentingan rakyatnya. Karena terbuai kekuasaan cenderung sewenang-wenang. Oleh karena itu sosok Semar sering difigurkan sebagai pamomong negeri ini.
Kahyangan yang dimaksud Semar adalah jiwa, rasa dan rohani para pemimpinnya. Inilah yang perlu dibangun agar Amarta menjadi negeri yang makmur, adil, sejahtera, dan sentosa.
Sayangnya maksud baik disikapi dengan penuh kecurigaan, dianggap merongrong kewibawaan dan upaya makar. Tetapi akhirnya terungkap kebenaran adalah kebenaran, pemimpin akan terkoreksi oleh rakyatnya yang jelata. Itulah ending dari lakon tersebut.
Yang hendak saya sampaikan adalah siapapun yang menyampaikan pesan dan aspirasi, harus diresponS dengan penuh aspiratif, bukan dengan cara-cara represif. Siapapun yang menyampaikan pesan, apakah rakyat jelata, rakyat miskin, warga di lereng pegunungan seperti di Desa Wadas, Purworejo, Jateng, nun jauh di daerah pertambangan seperti di Parigi Moutong, Sulteng, dan daerah lainnya di nusantara ini.
Para pemimpin di level manapun, hendaknya memperhatikan rakyat jelata. Tidak meremehkan peran masyarakat yang secara samar tidak terlihat nyata, tetapi sejatinya akan selalu ada dalam mendukung suksesnya pembangunan.
Sebagai pemimpin harus mampu menyerap aspirasi rakyat baik yang terlihat secara nyata maupun tersamar seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “ Kopi Pagi” di media ini. Karenanya, pemimpin wajib mengetahui lubuk hati masyarakat dan mampu merasakan derita dan denyut nadi masyarakat.
Mari kita kedepankan budaya sebagai jati diri bangsa dengan mempraktekkan dalam kehidupan sehari- hari. Dengan senantiasa menaati etika dan norma yang ada dan hidup dalam masyarakat. Pemimpin dengan berpegang teguh kepada etika dan norma kepemimpinannya, tentu atas kesadaran sendiri, bukan karena disadarkan, apalagi sampai dipaksakan oleh rakyat jelata sebagaimana digambarkan Semar untuk bendoronya para Pandawa.
Monggo “ Noto ati ben uripe mukti” - Menata hati biar hidupnya makmur , jaya, bahagia. “Noto roso ben ora ciloko” – menata rasa agar hidupnya tidak celaka, “ “Noto polah, ben ora salah” – Menata sikap perbuatan agar hidupnya tidak tersesat – salah jalan. (Azisoko *)