ADVERTISEMENT

Substitusi LPG dengan DME Berpotensi Bebani APBN

Kamis, 27 Januari 2022 12:24 WIB

Share
Sejumlah pekerja melakukan pengisian ulang tabung gas elpiji 3 kilogram di Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) Desa Peunaga Rayeuk, Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (1/7/2020). (Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas).
Sejumlah pekerja melakukan pengisian ulang tabung gas elpiji 3 kilogram di Stasiun Pengisian dan Pengangkutan Bulk Elpiji (SPPBE) Desa Peunaga Rayeuk, Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Rabu (1/7/2020). (Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas).

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Anggota Komisi Energi & Perindustrian (Komisi VII) DPR RI, Mulyanto, meminta pemerintah menyiapkan skema produksi, distribusi dan mekanisme substitusi dimethyl ether (DME) ke liquid petrolium gas (LPG) secara cermat. Tujuannya agar proses substitusi LPG ke DME berjalan baik dan tidak membebankan APBN.

"Substitusi LPG dengan DME, sebagai hasil gasifikasi batubara adalah langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan kita pada impor LPG. Namun, Pemerintah harus menghitung secara cermat aspek keekonomiannya. Jangan sampai upaya ini malah membebani APBN kita," kata Mulyanto kepada wartawan, Kamis (27/1/2022).

Untuk diketahui, proyek gasifikasi batu bara ini akan dibangun oleh PT Pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang bekerjasama dengan dan Air Products & Chemical Inc (APCI).  

Proyek ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), dengan mendatangkan investasi asing dari APCI sebesar US$ 2,1 miliar atau setara Rp 30 Triliun.  

 

Lihat juga video “Menjelang Imlek, Pedagang di Petak Sembilan Ramai diburu Pembeli”. (youtube/poskota tv)

Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun atau setara dengan Rp 7 triliun per tahun, sekitar sepuluh persen dari total impor LPG yang sekitar Rp 80 triliun per tahun. Sebenarnya kontribusinya tidak terlalu besar.

Mulyanto menekankan pentingnya aspek keekonomian proses substitusi ini. Dia berharap harga DME harus bersaing dengan harga LPG, termasuk juga juga dengan harga gas alam (LNG) atau kompor listrik. Karena kalau biaya produksi DME lebih mahal maka berpotensi membebani APBN.

"Sekarang ini, melalui UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, untuk proyek hilirisasi minerba dikenakan royalti 0%. Artinya potensi penerimaan negara dari proyek gasifikasi batu bara ini adalah “zero rupiah”. Ini kan semacam subsidi di “hulu”.  Kemudian nanti saat di hilir akan terjadi pengalihan subsidi pemerintah dari subsidi LPG 3 kilogram menjadi subsidi DME. Ini sudah double subsidi," terang Mulyanto.

Dia melanjutkan, jika harga DME lebih mahal dari harga LPG non-subsidi, maka akan muncul subsidi level ketiga (triple subsidi), yakni selisih antara harga DME dibanding LPG untuk produk non-subsidi. Mulyanto mengatakan hal ini tidak dinginkan. Karenanya hitung-hitungan keekonomian proyek DME harus dilakukan secara cermat oleh pemerintah.

Halaman

ADVERTISEMENT

Editor: Muhammad Rio Alfin Pulungan
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT