Kejar Mafia Minyak Goreng

Rabu 26 Jan 2022, 06:15 WIB
Pedagang Sembako di Pasar Mampang, Sudarti, 73, menunjukkan minyak goreng dan minyak curah.(adji)

Pedagang Sembako di Pasar Mampang, Sudarti, 73, menunjukkan minyak goreng dan minyak curah.(adji)

Oleh Budi Setiawan, Wartawan Poskota

SAMPAI saat ini masalah minyak goreng masih membetot perhatian masyarakat. Intervensi pemerintah menerapkan satu harga Rp14 ribu/liter di seluruh minimarket dinilai tidak efektif. Harga di pasar masih bertahan Rp20 ribu/liter.

Dampak efektifitas kebijakan satu harganya memang tak langsung dirasakan masyarakat seketika. Tetap butuh proses dan waktu. Apalagi hanya dilakukan sekali saja.

Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, saat mengumumkan satu harga terhadap minyak goreng, Rabu (19/1) lalu, mengaku penyesuaian selambat-lambatnya satu pekan depan dari tanggal diberlakukan kebijakan satu harga.

Minyak goreng dengan harga khusus Rp14 ribu ini akan digelontorkan ke masyarakat sebanyak 250 juta liter/bulan selama enam bulan ke depan. Karenanya disiapkan dana subsidi sebesar Rp7,5 triliun. Dana subsidi tersebut berasal dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPD PKS).

Namun intervensi harga yang dilakukan pemerintah ini belum bisa menjawab keluh kesah masyarakat terhadap mahalnya harga minyak goreng. Sebab penjualan minyak goreng seharga Rp14 ribu/liter hanya berlaku dan terbatas dilakukan para peritel, terutama minimarket. Belum menyebar ke pasar tradisional.

Akibatnya terjadi panic buying. Takut tak kebagian, masyarakat berbondong-bondong ke minimarket, hanya ingin mendapatkan dua liter minyak goreng. Dalam sekejap, minyak goreng murah tersebut pun ludes.

Bagi masyarakat kecil, selisih harga yang didapat agak lumayan. Dengan membeli dua liter minyak goreng murah, mereka hanya mengeluarkan uang Rp28 ribu. Sementara beli di pasar Rp40 ribu. Sisanya Rp12 ribu masih bisa dibelanjakan buat satu liter beras.

Kita sependapat dengan apa yang dikatakan Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, yang menilai kebijakan satu harga ini tidak menukik terhadap persoalan sebenarnya.

Diduga mahalnya harga minyak goreng di pasar domestik belakangan ini tak lepas adanya praktik kartel atau mafia minyak goreng. Mereka sengaja jor-joran mengekspor kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan mengabaikan kebutuhan pasar domestik demi mengeruk untung besar.

Persoalan ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah jangan sekadar mengejar besarnya pajak ekspor (PE) yang masuk. Tapi perlu mengatur tata niaga CPO lewat instrumen public service obligation (PSO). Jika produsen CPO tak mengabaikan kewajibannya, pemerintah harus menindak tegas.

Berita Terkait
News Update