Atas dasar hal tersebut, negara-negara maju berpacu menguasai ilmu pengetahuan
dengan mengedepankan tradisi riset dan inovasi guna menemukan benih-benih unggul dan teknik
pertanian modern.
Negara-negara maju terus menjaga kompetensi tersebut sebagai daya unggul dengan menguasai hal-hal yang strategis terkait benih, teknologi pertanian, alat-alat mekanisasi pertanian, hingga pengolahan paska panen produk-produk pertanian.
Sementara Indonesia yang begitu kaya dengan jenis-jenis makanan serta bumbu-bumbuan
pembentuk cita rasa makanan yang begitu bervariasi, belum mampu melihat keseluruhan aspek
strategis pangan melalui pendekatan hulu-hilir.
Riset di bidang pangan tidak sepenuhnya menjadi daya tarik peneliti Indonesia. Demikian halnya pengembangan hasil riset dalam skala perekonomian bagi kemajuan bangsa.
Persoalannya sering terletak pada mentalitas. Juga anggapan bahwa urusan pangan dianggap sepele. Diluar itu, ekosistem pangan yang berada di wilayah pedesaan tidak dianggap mewakili “status sosial” bagi kemajuan.
Kesalahan serupa juga terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa itu, hal-hal yang berkaitan
dengan pangan, termasuk kehidupan petani, hanya dipandang dari aspek sistem produksi semata.
Atas nama sistem produksi, berbagai bentuk efisiensi dilakukan, seperti penyeragaman benih padi.
Dampaknya, berbagai sumber benih padi lokal yang khas sesuai sifat tanah dan unsur hara, tidak
dikembangkan melalui riset, inovasi, dan pengembangan teknologi pertanian.
Implikasinya pun jelas. Penyeragaman benih, musim tanam, serta proses pengundulan hutan, menyebabkan berkembangnya hama baru wereng akibat tidak bekerjanya ekosistem yang memerhatikan kelestarian lingkungan.
Ditinjau dari politik tata ruang untuk pangan, Orde Baru juga membuat kesalahan fatal.
Kalau jaman Bung Karno pembangkit tenaga listrik dibangun dengan mengedepankan kehadiran
bendungan-bendungan secara terintegrasi dengan sistem irigasi pertanian dan pariwisata,
sebagaimana dengan Waduk Jati Luhur, pada jaman Orde Baru sebaliknya.
Atas nama pembangunan, wilayah subur seperti Gresik, dan Tuban di Jawa Timur, dan Bekasi, Karawang, Cibitung, hingga Cikampek di Jawa Barat telah berubah fungsi secara masif menjadi daerah industri.
Hasilnya, Ibu kota Jakarta dikepung oleh ledakan migrasi penduduk untuk mencari pekerjaan di
kawasan tersebut. Politik tata ruang guna melindungi lumbung pangan diabaikan dan hilanglah
tradisi lokal tentang seni menanam.
Apa yang terjadi di wilayah subur sebagai lumbung pangan yang diubah menjadi kawasan
industri ikut merubah sistem sosial kemasyarakatan, dan melunturnya akar kebudayaan berikut
berbagai simbol kebudayaannya.