Opini

Pangan

Minggu 23 Jan 2022, 06:00 WIB

Oleh: Hasto Kristiyanto

Jaya Suprana dalam perjalanan hidupnya yang begitu lengkap sebagai seorang pebisnis,
pianis, seniman, dan kemudian menemukan keseluruhan panggilan hidupnya sebagai seorang
budayawan, menyampaikan pernyataan yang begitu menarik tentang seni kuliner.

Baginya seseorang boleh saja piawai sebagai seniman, ataupun sebagai seorang yang begitu menjiwai seni lukis, seni suara, ataupun seni tari.

Namun tanpa pemahaman terhadap seni kuliner, suatu seni yang begitu penting dan bersentuhan dengan kehidupan, berbagai seni yang ada tidaklah lengkap, tidak sempurna.

Apa yang disampaikan Jaya Suprana tersebut nampaknya sederhana, terlebih ketika
disampaikan dengan nada candaan.

Namun jika direnungkan lebih mendalam, seni kuliner ternyata penuh kedalaman makna. Seni kuliner menyentuh state of the art cita rasa.

Seni kuliner hadir sebagai perpaduan pemahaman terhadap segala sesuatu hal yang berkaitan dengan makanan, gizi, protein, cita rasa, dan ketrampilan di dalam memadukan bumbu-bumbuan, hingga seni menampilkan aneka rupa makanan sebagai karya yang begitu menarik, hidup, dan menggugah selera.

Pernyataan Jaya Suprana dalam pemberian Rekor MURI atas pencaian rekor resep makanan
dan festival kuliner makanan pendamping beras dalam rangka Ulang Tahun PDI Perjuangan ke 49
tersebut ditanggapi Megawati Soekarnoputri dengan tawa penuh kegembiraan.

Jaya Suprana ternyata mampu membahasakan dengan cara sederhana tentang pentingnya seni kuliner. 

Sudah begitu lama Megawati menaruh perhatian yang begitu besar terhadap pangan.

Mungkin hanya Megawatilah yang tercatat sebagai Presiden Republik Indonesia dengan kumpulan
buku kuliner terbanyak, bahkan di dunia.

Karena itulah tidak heran, ketika Indonesia dihantam badai pandemi Covid-19, dengan cepat Megawati mengeluarkan instruksi agar seluruh anggota dan kader PDI Perjuangan bergerak serentak menjalankan instruksinya untuk menanam tanaman yang bisa dimakan khususnya, 10 tanaman pendamping beras.

Antara lain Jagung, Singkong, Umbi, Talas, Sukun, Pisang, Porang, Cantel, dan lain-lain. Tidak hanya itu seluruh kepala daerah dari PDI Perjuangan diperintahkan untuk mengumpulkan resep makanan yang khas di daerahnya, termasuk resep jamu-jamuan herbal, dan wajib dituangkan dalam buku.

Alhasil, gerak kepartaian PDI Perjuangan diwarnai dengan gerak menanam; gerak mencari
aneka tanaman termasuk buah-buahan dan sayur-sayuran yang memiliki kandungan vitamin tinggi
untuk meningkatkan daya imunitas tubuh di tengah pandemi.

Dalam berbagai kegiatan yang begitu penting, PDI Perjuangan memompakan semangat merawat pertiwi dengan kegiatan menanam, membersihkan sungai, mengumpulkan resep makanan, hingga rupa-rupa festival kuliner dan juga aneka kegiatan yang mengangkat keseluruhan kebudayaan nusantara.

Dalam keseluruhan gerak kepartaian tersebut nampak bagaimana ideologi Pancasila dijabarkan secara konkrit dalam keseluruhan aspek kehidupan rakyat.

Termasuk mengangkat tema yang belum banyak diangkat partai politik lain berkaitan dengan pangan. 

Pangan ternyata bersentuhan dengan persoalan hidup mati suatu bangsa. Hal tersebut
berulang kali ditegaskan oleh Bung Karno, Proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia.

Pangan bukan hanya urusan perut semata. Dalam konsepsi Bung Karno, urusan pangan menentukan masa depan bangsa. Pangan juga memiliki keterkaitan kuat dengan politik.

Sebab pemerintahan bisa turun legitimasinya, bahkan kekuasaan pemimpin tertinggi suatu negara bisa jatuh, ketika urusan yang begitu strategis tersebut tidak bisa dikelola dengan baik.

Bagi Bung Karno, Indonesia yang berdaulat di bidang pangan menjadi elemen yang begitu
penting dalam Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian
dalam kebudayaan.

Karena itulah suatu bangsa akan berdaulat apabila mampu mencukupi kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Dan terlebih ketika hal tersebut dilakukan secara berdikari, maka negara akan mencapai taraf kedaulatan politiknya. 

Demi pencapaian konsepsinya untuk berdaulat di bidang pangan tersebut, Bung Karno
mendorong hadirnya fakultas pertanian di setiap universitas negeri. Dan secara khusus menggagas
pendirian Institut Pertanian Bogor (IPB) guna mencangkan politik berdikari di bidang pangan.

Tidak hanya itu, dalam pengarahannya ketika diadakan Konferensi Dokter Anak Asia Afrika, Bung Karno menegaskan pentingnya kekuatan demografi bagi kepemimpinan suatu bangsa.

Mengapa berkaitan dengan urusan pangan menjadi perhatian yang begitu luas dari Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, dan kemudian dilanjutkan oleh Presiden Jokowi?

Mengapa berulang kali Bung Karno menegaskan bahwa dari lidah dan perut rakyat Indonesia tidak boleh terjajah oleh makanan impor?

Bagi Bung Karno, persoalan pangan bukanlah jargon politik. Pangan menjadi perhatian yang
begitu besar dari Bung Karno.

Karena dari pangan, Indonesia membangun kepribadian bangsa yang berakar dari tradisi nusantara.

Dari pangan, Bung Karno memerintahkan riset selama lebih dari 6 (enam) tahun tentang pangan nusantara yang secara lengkap ditampilkan dalam buku Mustika Rasa.

Kekayaan pangan Indonesia sangat luar biasa, begitu beranega ragam. Setiap daerah, setiap wilayah kepulauan, bisa diangkat jenis makanan yang sering terasa unik.

Dipadukan dengan bumbu- bumbuan dan juga aneka rempah, menjadikan makanan nusantara memiliki cita rasa begitu khas.

Tidaklah heran, nusantara menjadi begitu menarik. Dan sejarah membuktikan bagaimana urusan
pangan sering menjadi pemicu persaingan hegemoni antar bangsa.

Pertarungan hegemoni yang dipicu oleh pangan dapat dibuktikan secara empiris tentang
bagaimana survival suatu bangsa berkaitan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan nasionalnya
di bidang pangan.

 

Ilustrasi. (ucha)

Bahkan hegemoni negara maju sering dibangun melalui daya kompetensi dengan
menguasai paten atas benih-benih unggul.

Pilihan itu diambil akibat mereka tidak memiliki lahan yang cukup subur dengan lintasan matahari seluas negara-negara yang membentang di antara garis katulistiwa.

Atas dasar hal tersebut, negara-negara maju berpacu menguasai ilmu pengetahuan
dengan mengedepankan tradisi riset dan inovasi guna menemukan benih-benih unggul dan teknik
pertanian modern.

Negara-negara maju terus menjaga kompetensi tersebut sebagai daya unggul dengan menguasai hal-hal yang strategis terkait benih, teknologi pertanian, alat-alat mekanisasi pertanian, hingga pengolahan paska panen produk-produk pertanian.

Sementara Indonesia yang begitu kaya dengan jenis-jenis makanan serta bumbu-bumbuan
pembentuk cita rasa makanan yang begitu bervariasi, belum mampu melihat keseluruhan aspek
strategis pangan melalui pendekatan hulu-hilir.

Riset di bidang pangan tidak sepenuhnya menjadi daya tarik peneliti Indonesia. Demikian halnya pengembangan hasil riset dalam skala perekonomian bagi kemajuan bangsa.

Persoalannya sering terletak pada mentalitas. Juga anggapan bahwa urusan pangan dianggap sepele. Diluar itu, ekosistem pangan yang berada di wilayah pedesaan tidak dianggap mewakili “status sosial” bagi kemajuan.

Kesalahan serupa juga terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa itu, hal-hal yang berkaitan
dengan pangan, termasuk kehidupan petani, hanya dipandang dari aspek sistem produksi semata.
Atas nama sistem produksi, berbagai bentuk efisiensi dilakukan, seperti penyeragaman benih padi.

Dampaknya, berbagai sumber benih padi lokal yang khas sesuai sifat tanah dan unsur hara, tidak
dikembangkan melalui riset, inovasi, dan pengembangan teknologi pertanian.

Implikasinya pun jelas. Penyeragaman benih, musim tanam, serta proses pengundulan hutan, menyebabkan berkembangnya hama baru wereng akibat tidak bekerjanya ekosistem yang memerhatikan kelestarian lingkungan.

Ditinjau dari politik tata ruang untuk pangan, Orde Baru juga membuat kesalahan fatal.
Kalau jaman Bung Karno pembangkit tenaga listrik dibangun dengan mengedepankan kehadiran
bendungan-bendungan secara terintegrasi dengan sistem irigasi pertanian dan pariwisata,
sebagaimana dengan Waduk Jati Luhur, pada jaman Orde Baru sebaliknya.

Atas nama pembangunan, wilayah subur seperti Gresik, dan Tuban di Jawa Timur, dan Bekasi, Karawang, Cibitung, hingga Cikampek di Jawa Barat telah berubah fungsi secara masif menjadi daerah industri.

Hasilnya, Ibu kota Jakarta dikepung oleh ledakan migrasi penduduk untuk mencari pekerjaan di
kawasan tersebut. Politik tata ruang guna melindungi lumbung pangan diabaikan dan hilanglah
tradisi lokal tentang seni menanam.

Apa yang terjadi di wilayah subur sebagai lumbung pangan yang diubah menjadi kawasan
industri ikut merubah sistem sosial kemasyarakatan, dan melunturnya akar kebudayaan berikut
berbagai simbol kebudayaannya.

Banyak penduduk lokal yang tidak siap dengan modernisasi, lalu terkena bujuk rayu menjual tanah sumber pangannya dengan harga murah, hingga akhirnya tercerabut dari peri-kehidupannya.

Bayangkan, seandainya di walayah tersebut dipertahankan menjadi wilayah pertanian, yang kemudian ditransformasikan secara modern, betapa Jakarta akan dikelilingi oleh pemandangan hijau yang menghampar di sekeliling perbatasannya.

Seandainya hal tersebut terjadi, maka Indonesia yang tercermin melalui DKI Jakarta tidak akan tercerabut dari basis kebudayaannya yang agraris, namun bisa ditransformasikan secara modern.

Hal inilah yang tidak terjadi. Karena itulah ketika Ibukota negara akan dipindahkan ke Kalimantan Timur, kesalahan yang sama tidak boleh terjadi.

Demikian halnya daerah seperti Papua, Sulawesi, dan wilayah Indonesia lainnya. Saatnya untuk menjaga sumber kehidupan yang sangat penting bagi bangsa: yakni pangan dengan menjaga dan memertahankan lahan-lahan subur dan lumbung pangannya.

Politik tata ruang harus menjamin kelangsungan hidup bangsa. Terlebih bagi Indonesia yang
berada di daerah tropis, dengan gunung-gunung dan lembah hijau yang begitu kaya dengan sumber
pangan.

Semua harus dijaga. Pangan harus dikembangkan dengan segala cara dari hulu-hilir melalui
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, riset dan inovasi agar Indonesia benar-benar berdaulat di
bidang pangan.

Lihat juga video “Piluhan Hektar Terendam, Diduga 8 Perusahaan Tambang Pasir Jadi Penyebabnya”. (youtube/poskota tv)

Hal ini sekaligus sebagai antisipasi, ketika dampak global warming semakin mengancam ketersediaan pangan, maka bagi Indonesia yang berada di lintasan katulistiwa, pangan
adalah masa depan bagi keunggulan negeri.

Banyak ahli yang memperkirakan, bahwa perang masa depan bisa dipicu oleh perebutan daerah yang terbukti menjadi sumber pangan.

Karena itulah dari pangan kita gelorakan nasionalisme Indonesia. Dari pangan semangat
yang diajarkan Bung Karno, agar dari lidah dan perut rakyat Indonesia tidak terjajah oleh makanan
impor terus kita kumandangkan dengan cara-cara positif seperti riset dan inovasi serta melindungi
keseluruhan ekosistem pangan Indonesia agar semakin berkemajuan, dan secara khusus bisa
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Merdeka!!! 

Tags:
pentingnya paganpengembangan pangan indonesiasuara kemerdekaaninovasi panganSuara Kebangsaanhasto kristiyanto

Administrator

Reporter

Administrator

Editor