Oleh : Yahya Abdul Hakim. Wartawan Poskota
KATA naik belakangan menjadi populer di tengah masyarakat. Bahkan kata tersebut sudah mulai 'akrab' di kalangan warga menjelang awal 2022 dengan dimulainya kenaikan sejumlah bahan pokok seperti cabai, daging sapi dan telur ayam yang harganya tembus hingga di atas Rp30 ribu perkilonya, jauh melesat dari harga normal dengan kisaran harga Rp17 - 21 ribu.
Kondisi itu bertahan hingga akhir tahun 2021 bahkan sampai di awal bulan di 2022 ini.
Memasuki Januari 2022, masyarakat lagi lagi dikejutkan dengan kata naik.
Setidaknya sudah ada beberapa agenda peningkatan harga. Seperti, harga gas Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji nonsubsidi sebesar Rp 1.600 hingga Rp 2.600 per kilogram.Peningkatan harga LPG ini bahkan sudah dilakukan per 25 Desember 2021. Meski, khusus harga LPG 3 kilogram masih tetap karena disubsidi pemerintah.
Kemudian ada wacana kenaikan tarif listrik golongan pelanggan non-subsidi di tahun ini . Dengan skema tarif penyesuaian, maka kenaikan tarif listrik di tahun 2022 diperkirakan naik dari Rp 18.000 hingga Rp 101.000 per bulan sesuai dengan golongannya.
Masih berkaitan dengan urusan dapur, ibu rumah tangga saat ini tengah diresahkan dengan melonjaknya harga minyak goreng yang sempat menembus harga Rp20 ribu perkilonya dari harga normal sebesar Rp12 ribu.
Kendati kini pemerintah mengeluarkan kebijakan satu harga sebesar Rp14 ribu perkilo, namun rasanya sulit untuk kembali turun ke harga normal.
Sebaliknya, giliran pedagang yang dibuat resah dengan kebijakan satu harga itu, mereka mengaku merugi lantaran sebelumnya membeli saat kondisi harga minyak goreng tengah melambung.
Gejolak yang terjadi itu jika tak segera diatasi pemerintah melalui instrumen terkaitnya tidak menutup kemungkinan dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat (kamtibmas) mengingat persoalan itu berhubungan dengan kebutuhan dasar, perut dan ‘dapur’ alias pendapatan warga.
Pengendalian harga kebutuhan dasar warga khususnya sembako mutlak harus dilakukan walau kemungkinan besar harga yang sudah naik tak akan lagi bisa kembali turun , minimal bisa berada di posisi stabil sesuai dengan kemampuan rakyat berpenghasilan kecil.
Bagi rakyat kecil urusan perut paling utama, demi apapun kebutuhan itu mesti dipenuhi tak peduli jika harus berhadapan dengan kekerasan.
Di sisi lain , situasi kenaikan harga harga tidak menutup kemungkinan juga bisa dimanfaatkan oleh oknum yang menginginkan negeri ini kacau, politisasi kenaikan harga sangat mungkin bisa dimainkan sebagai isu ‘seksi’ untuk menggerakkan warga membuat kekacauan yang buntutnya menuntut suksesi kepemimpinan. Semoga saja hal itu tidak terjadi . (*)