Sosiolog Soroti Fenomena Mudahnya Masyarakat Terjerat Bujuk Rayu Bank Keliling

Selasa 18 Jan 2022, 08:40 WIB
Ilustrasi pinjaman uang bank keliling.(Ist)

Ilustrasi pinjaman uang bank keliling.(Ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Fenomena maraknya masyarakat dengan mudah terjerat rayuan maut Bank Keliling (Bangke/Rentenir) seakan menjadi persoalan yang pelik dan sulit untuk dicari upaya penyelesaiannya.

Dalam rentang waktu 3 tahun terakhir saja, terdapat sejumlah kasus bagaimana masyarakat yang mendatangi rentenir dengan maksud mencari solusi instant terkait masalah finansial malah semakin tercekik dengan suku bunga yang tak masuk akal.

Tahun 2019 misalnya, masyarakat Desa Weninggalih, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat menjadi korban jeratan hutang rentenir yang mengakibatkan masyarakat setempat kabur atau menjadi tenaga kerja di luar negeri untuk dapat melunasi hutang dan suku bunga tinggi yang diberikan oleh si rentenir.

Pun yang terbaru, seorang tukang gorengan di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, kalap dan tega menghabisi nyawa seorang juru tagih hutang lantaran terjerat persoalan hutang dengan rentenir.

Maraknya fenomena tersebut ditanggapi oleh Sosiolog Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, Hubertus Ubur.

Menurut dia, masyarakat cenderung datang ke rentenir selain dari faktor kebutuhan yang mendesak, juga dipengaruhi karena tiadanya alternatif lain yang tidak berbelit-belit dalam upaya menyelesaikan masalah finansial yang menderanya.

"Meminjam uang ke rentenir itu kan caranya mudah dan cukup instant prosesnya. Sementara kalau meminjam dana dari lembaga keuangan milik pemerintah prosesnya cukup berbelit-belit, sedangkan mereka sedang sangat-sangat membutuhkan," kata Hubertus kepada PosKota.co.id, Senin (17/1/2022).

Lanjut dia, kegiatan rentenir akan tetap terus ada dan menjerat masyatakat selama tidak adanya substitusi alternatif yang dikeluarkan pemerintah untuk membantu kesulitan masyarakat.

"Bagaimana menghentikan pusaran yang ribet tersebut? Dalam situasi normal saja susah apalagi saat masa pagebluk. Toh, bantuan pemerintah tidak seberapa, kemungkinan besar juga gagal menyasar masyarakat," jelas dia.

"Rantai hubungan transaksional itu baru putus apa bila ada pendana lain seperti lembaga keuangan pemerintah. Tetapi kan prosedurnya panjang dan kadang berbelit-belit, sementara peminjam maunya instan meski bunga tinggi," sambung dia.

Hubertus menerangkan, cukup sulit untuk memutus mata rantai kegiatan rentenir selama pemerintah yak menyiapkan skema peminjaman yang lebih mudah. Terlebih, kegiatan rentenir memiliki pasarnya tersendiri, yakni para peminjam.

"Jadi ini hubungan transaksional yg melibatkan kedua belah pihak," sambung dia.

"Selama tidak ada substitusi, selama itu kegiatan rentenir tetap langgeng. Istilah sosiologinya, selama fungsional eksistensi langgeng," tukasnya.

Lebih lanjut, ihwal fungsi dan keberadaan aparat dalam menanggulangi persoalan ini, kata dia, kemungkinan besar aparat memang mengetahui alur jalan dan siapa pihak yang mengoperasikan bisnis haram ini. Namun, karena ini menyangkut masalah bertahan hidup, cukup sulit pula untuk melakukan penindakan.

"Aparat pasti tahu, tetapi kemungkinan besar oleh karena para rentenir itu membutuhkan uang untuk keperluan mereka, aparat juga bimbang untuk menindak. Untuk mendapat penghasilan kan mereka (rentenir) hanya mengandalkan besarnya persentase pinjaman. Jadi agak pelik juga win to win solutionnya," pungka Hubertus. (CR 10).

Berita Terkait
News Update