"Anak yang digendong ibu itu merengek 'bu jajan bu, jajan,' terus saya jawab karena saya enggak dikasih keturunan (anak), 'oh iya nak ini ya, nak, sedikit buat jajan,' saya kasih Rp5 ribu atau Rp10 ribu gitu, ya namanya anak lapar pasti minta jajan," ucap Sarono.
Sarono yang terketuk hatinya bertanya lebih lanjut soal ayah dari kedua anak yang diketahui kala itu masih duduk di bangku kelas dua dan enam Sekolah Dasar (SD).
"Ternyata ayahnya meninggal kecelakaan di Padang," kata Sarono.
Guna memastikan lebih lanjut mengenai kondisi dua anak itu usai ditinggal pergi sang ayah untuk selamanya, Sarono datang ke pihak RT tempat mereka tinggal.
Tatkala mendapat informasi bahwa benar jika suami dari ibu dua anak itu telah meninggal dunia, maka Sarono berniat ingin membiayai pendidikan anak tersebut.
"Saya minta surat kematiannya, baru saya angkat," jelas Sarono.
Pada mulanya, anak yatim dhuafa yang diangkat Sarono berasal dari berbagai wilayah dan akhirnya Sarono tukang pecah batu tuna Netra mampu sekolahkan 65 anak yatim Dhuafa.
"Kalau sekarang itu saya ngambil dari RW saya aja RW 09. Kalau dulu waktu baru-baru ngacak, ada yang dari Pulo Maja, ada yang dari Prumpung, ada yang dari Kambes, karena dulu kita belum tahu kalau di RW kita sebetulnya banyak," ungkapnya.
Sarono mengaku dirinya amat bertekad membiayai pendidikan anak kurang mampu lantaran berkaca pada dirinya sendiri yang juga hidup susah.
Bahkan, saking susahnya perekonomian Sarono, dirinya pun tak lulus SD.
"Jadi kita dulu mau sekolah aja susah banget, ya kita merasa, bahwa dulu mau beli ini susah, mau beli itu susah, jadi disekolahin biar jangan sampai seperti kita dulu lah," ungkapnya.
Lihat juga video “Poskota Terkini: Kasus Terinfeksi Varian Omicron di Indonesia Bertambah Jadi 46 Orang”. (youtube/poskota tv)
Kendati memang, ekonomi Sarono juga tak begitu baik sebab penghasilan memecah batu terbilang kecil, namun yang patut dicatat yakni bahwa Sarono menganggap yang terpenting dari sebuah pekerjaan ketika dirinya mampu bermanfaat bagi masyarakat.