Ada cerita menarik menjelang kedatangan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev pada tahun 1961. Bung Karno menantang para insyinyur peneliti dari ITB untuk membuat batu menjadi baju, guna dipamerkan kepada Khrushchev bahwa dalam penguasaan IPTEK, Indonesia tidak boleh dianggap remeh.
Belakangan baru ditemukan bagaimana batu gamping dengan karbon menjadi karbit lalu kemudian menjadi asetilen, dan melalui proses polimerisasi diubah menjadi serat yang ketika dipilin menjadi benang. Apa yang diminta Bung Karno sebagai contoh lambang supremasi kemajuan IPTEK belakangan terbukti.
Bung Karno pula yang meminta agar kedatangan Khrushchev juga mengajak kosmonot pertama Uni Soviet Yuri Gagarin, sebagai inspirasi anak muda Indonesia untuk punya cita-cita setinggi langit, bisa terbang ke angkasa. Guna memberikan rasa hormatnya, Bung Karno bahkan memberikan Bintang Mahaputra kepada Gagarin.
Ada juga cerita menarik lainnya, ketika para Insinyur Indonesia yang merancang Gedung Conference of the New Emerging Forces (CONEFO), dan Jembatan Semanggi, dalam keputus-asaan mendesain ruang sidang dengan bentangan yang sangat panjang untuk ukuran saat itu. Dalam rapat perencanaan pembangunan tersebut, para insinyur Indonesia nyaris menyerah. Mereka lalu melaporkan kepada Bung Karno mengenai berbagai kesulitan teknis yang dihadapi.
Mendengar hal tersebut, Bung karno lalu mengumpulkan para Insinyur tersebut dan menegaskan, “Saya saja bisa membangun Republik Indonesia ini dengan bermodalkan semangat sehingga Indonesia Merdeka, masak setelah merdeka saya harus mendatangkan orang asing untuk mendesain Gedung CONEFO dan Jembatan Semanggi?”.
Mendengar kata-kata Bung Karno tersebut, malulah para insinyur tersebut dan buru-buru menyatakan kesanggupannya untuk bisa menyelesaikan desain tanpa harus mendatangkan orang asing.
Cerita yang sama juga muncul ketika para seniman dan pematung Indonesia yang ditugaskan untuk merancang diorama yang menggambarkan kebudayaan Indonesia untuk menghiasi Hotel Indonesia di Jakarta dan Hotel Ambarukmo di Yogyakarta menghadapi persoalan yang sama.
Para seniman pematung dan ahli diorama Indonesia tersebut memiliki kesulitan untuk menguasai teknologi keramik yang sketsanya didesain sebagai cermin kehidupan masyarakat Indonesia yang agaris, berkebudayaan, dan penuh tradisi gotong royong.
Mendengar hal tersebut, Bung Karno menggunakan jurus serupa, masak untuk urusan diorama saja Indonesia harus mendatangkan orang asing agar dapat menguasai teknologi proses pengolahan keramik? Jurus sederhana tersebut terbukti ampuh, dan berkreasilah para seniman Indonesia bersama para ahli keramik untuk suatu karya yang menunjukkan capaian peradaban Indonesia dengan cara berdikari. Spirit juang ternyata membangunkan keyakinan diri dan mampu meletakkan rasa percaya pada kekuatan sendiri.
Berangkat dari berbagai cerita di atas, nampak jelas bahwa penguasaan IPTEK perlu skenario kebudayaan guna memperkuat tradisi riset dan inovasi. Skenario kebudayaan itu perlu daya topang percaya pada kekuatan sendiri. Hal ini senafas dengan Pidato Bung Karno menjelang pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945 yang menegaskan: “Kini tiba saatnya bagi kita untuk berani meletakkan nasib bangsa dan tanah air di tangan kita sendiri.
Sebab hanya bangsa yang berani meletakkan nasib di tangan kita sendiri akan berdiri dengan kuatnya”. Semangat inilah yang seharusnya hidup dalam dunia akademis, dunia kampus, maupun dunia riset dan inovasi.
Apa yang disampaikan Bung Karno tersebut sangatlah relevan hingga saat ini. Kehadiran BRIN merupakan satu tarikan nafas dengan semangat Proklamasi tersebut. BRIN menggelorakan kembali jalan Indonesia yang berdiri di atas kaki sendiri. BRIN didesain bukan untuk secara ajaib membawa kemajuan bangsa, bukan! Di depan BRIN penuh jalan perjuangan.