Toleransi disadari oleh para pejuang bangsa sebagai tali perekat persatuan di tengah keberagaman dengan mengesampingkan ego kelompok, kedaerahan, keagamaan dan kesukuan.
Founding fathers, Bung Karno memberi contoh nyata dengan membuka begitu luas ruang toleransi ketika bersidang pada 1 Juni 1945 untuk merumuskan dasar negara sebagai syarat Indonesia merdeka. Tak sebatas menghargai perbedaan pendapat, tetapi menekan kehendak diri dengan mengakomodir kehendak orang lain demi kepentingan umum – kepentingan yang lebih luas.
Maknanya, toleransi ikut mewarnai kelahiran Pancasila sebagai falsafah bangsa yang kemudian dijabarkan dalam nilai – nilai luhur seperti mengembangkan sikap tenggang rasa, saling menghormati, tolong menolong, dan tidak semena – mena.
Dalam konteks toleransi beragama di antaranya tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Mengamalkan ajaran agamanya secara berkeadaban, saling menghormati satu sama lain. Toleran terhadap pelaksanaan ibadah yang dianut pemeluk agama lain.
Marilah kita “nitilaku” dengan lebih menjaga dan mengamalkan nilai – nilai toleransi (value of tolerance) seperti yang telah dicontohkan para pejuang dan pendiri negeri. Perlu kiranya mengubah “culture of reaction” – budaya reaksioner menjadi “culture of prevention “ – budaya pencegahan.
Ini sejalan dengan pitutur luhur perlunya mengembangkan sikap “tepa salira” – menjaga dan merasakan perasaan orang lain untuk mencegah ketersinggungan. Tak kalah pentingnya penyesuaian diri dengan lingkungan sosial, di mana kita berada sebagaimana pitutur “ Manjing, ajur, ajer” yang artinya harus bisa masuk ke dalam pergaulan, ke segala komunitas atau lingkungan sosial manapun. Kemudian melebur dan mencair, menyatu dengan lingkungan serta beradaptasi dan akrab dengan orang – orang disekitarnya.
Jika sudah demikian, ayem tentrem dan damai, bukan hal yang sulit didapat. (Azisoko*)