“Siap jadi istri seorang pelaut?” kata Anggito sekali waktu. Lilik menjawab, kenapa tidak? Yang penting Mas Anggitoa mau menerima dirinya apa adanya, seorang janda yang sudah tangan kedua, tapi surat-surat komplit.
Karena kesiapan si doi, Anggito pun ambil cuti untuk bisa ketemu calon istri.
Anggito sudah merencanakan, nanti bisa jalan-jalan berdua di Malioboro, lalu makan gudeg lesehan bersama doi. Asyik kan?
Di Umbulharjo tempat kos-kosannya, Lilik menemui Anggito dengan seragam ASN Kementrian Perindustrian. Sang pelaut pun makin mantap.
Pertimbangannya, 6 bulan sekali baru bisa pulang tak masalah, karena istri bisa mengisi kesibukan sebagai ASN.
Dalam hati dia membatin, agaknya ini jodoh yang dikirimkan Tuhan untuknya.
Janda nggak masalah, yang penting rasanya Bung! Karena hanya mengambil cuti pendek, Anggito kembali ke kapalnya yang baru bersandar di Jepang.
Tapi sejak itulah mulai ada permintaan uang dari Lilik. Pertama kali untuk biaya ibunya opname di RS Magelang.
Buat calon istri, langsung saja di transver Rp25 juta.
Tapi seminggu kemudian Lilik telpon lagi mengabarkan bahwa ibunya meninggal, sehingga butuh biaya pemakaman. Kembali Anggito transver Rp50 juta.
Ee, semingu kemudian Lilik telepon lagi bahwa sepeninggal ibu baru ketahuan jika ada tanggungan utang almarhumah sampai Rp100 juta.
Lagi-lagi Anggito kirim uang tersebut tanpa menawar serupiahpun. Dan setelah itu masih ada lagi permintaan macem-macam termasuk minta modal usaha untuk jaga-jaga bila telah menjadi suami
istri.