Laut dengan demikian tidak hanya menyatukan ribuan pulau tetapi menjadi batas kedaulatan negara Republik Indonesia. Deklarasi Djuanda terbukti efektif karena dukungan legitimasi kepemimpinan Indonesia yang dinilai berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955. Tanpa KAA, Deklarasi Djuanda belum tentu mendapatkan dukungan, terutama dari negara-negara yang tergabung dalam KAA.
Dengan kesatu-paduan daratan dan laut tersebut, Bung Karno menegaskan bahwa bangsa Indonesia bisa menjadi satu bangsa yang jaya dan besar, jikalau menguasai laut. Dengan konsepsi ini, dirancanglah kehadiran Kompartemen Maritim yang terdiri dari Departemen Perhubungan Laut, Departemen Perikanan dan Pengolahan Laut serta Departemen Perindustrian Maritim.
Eksistensi Kompartemen Maritim ini juga didukung oleh perubahan budaya strategis yang merubah kultur budaya daratan menjadi budaya kelautan. Dalam perspektif ini, Bung Karno menetapkan Kawasan Indonesia Timur sebagai pusat Kompartemen Maritim, yang kepemimpinan intelektualnya didukung dengan pendirian Universitas Patimura di Maluku dan Universitas Cendrawasih di Papua.
Universitas Patimura juga dirancang sebagai pusat pengembangan oseanografi terbesar di Asia Tenggara dengan bantuan Pemerintah Uni Soviet.
Dengan konsepsi di atas, semakin lengkaplah proses transformasi kemajuan Indonesia Raya dengan mendayagunakan laut. Tahap selanjutnya adalah menjaga kedaulatan dan keselamatan bangsa agar seluruh konsepsi Indonesia sebagai negara maritim tersebut diikuti dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut Republik Indonesia sebagai garda terdepan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Guna menjalankan gagasan ini, berbagai upaya kerjasama ditawarkan ke Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun tidak mendapat perhatian yang berarti. Baru setelah dilakukan diplomasi secara intens ke Uni Soviet, Indonesia mendapatkan 12 kapal selam kelas Whiskey dengan torpedo listrik tercanggih di jamannya, KRI Irian Kelas Sverdlov berbobot raksasa 16.640 ton, dan 104 kapal tempur kelas Covette yang berperan sebagai penjaga atau pengiring dari Kapal Perang KRI Irian.
Dengan kekuatan militer yang dimiliki Indonesia tersebut, kekuatan militer Indonesia menjadi salah satu yang terkuat di belahan bumi selatan. Kekuatan angkatan perang itulah yang dipakai secara efektif dalam satu kesatuan matra dengan Angkatan Udara dan Angkatan Darat untuk menjaga perdamaian dunia, termasuk membantu kemerdekaan Pakistan dan Aljazair.
Keseluruhan pemahaman tentang kepeloporan Indonesia di laut itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa Presiden Jokowi pada periode pertama menegaskan doktrin kebijakan luar negeri Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD).

Ilustrasi. (arif)
Suatu kebijakan yang menegaskan posisi geopolitik Indonesia yang begitu strategis dalam jalur perdagangan dunia, namun pada saat bersamaan, mengambil inisiatif dalam percaturan dunia.
Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia juga menggambarkan tekad agar pivot geopolitik tersebut dipersiapkan secara matang, mencakup keseluruhan aspek geostrategi, geoekonomi, hingga pengaturan koridor strategis dengan memanfaatkan ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).
Melalui ALKI tersebut, Indonesia seharusnya membangun konektivitas dalam sistem perdagangan dunia bagi kepentingan nasional Indonesia. Dalam persepktif ini, apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan membangun infrastruktur secara agresif pada dasarnya merupakan upaya menciptakan connectivity Indonesia dengan dunia.
Hal ini sejalan dengan pandangan teori geopolitik dari Parag Khanna, seorang ahli geopolitik India yang menegaskan bahwa konektivitas dan geografi dalam mapping connectograhy akan berimplikasi terhadap masa depan global. Oleh karenanya bagi Khanna, konektivitas yang kompetitif merupakan sejata ampuh di abad 21.